BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar
Belakang
Sebelum para penjajah datang ke Indonesia, hukum yang
berlaku di negara tersebut adalah hukum adat dimana hukum adat tersebut hanya
merupakan kebiasaan-kebiasaan dari masyarakat setempat dan biasanya hukum adat
ini tidak tertulis. Dalam buku “Sistem Hukum Indonesia”, pada dasarnya sistem
hukum nasional Indonesia terbentuk dan dipengaruhi oleh tiga pilar sistem
hukum, yaitu sistem hukum barat, sistem hukum adat, dan sistem hukum islam.
Penjajah Indonesia khususnya Belanda telah mempengaruhi hukum yang berlaku di
Indonesia sehingga dengan kata lain hukum barat yang menjadi salah satu
pengaruh pembentukan sistem hukum nasional kita merupakan salah satu warisan
penjajah kolonial Belanda. Implikasi yang masih sangat kuat dan kita rasakan
dalam menjalankan hukum di negeri ini adalah di mana segala bentuk hukum pidana
dan perdata adalah produk Belanda. Hingga saat ini KUHP yang Indonesia gunakan
sekarang adalah produk pemerintahan kolonial Belanda.
B.    Rumusan
Masalah
Adapun rumusan masalahnya
yaitu :
1.     Bagaimana
sejarah dan karakter sistem hukum pidana Belanda?
2.     Bagaimana
sejarah dan karakter sistem hukum pidana Indonesia?
3.     Bagaimana
perbedaan dan persamaan sistem pidana Belanda dan sistem pidana Indonesia?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.    Sistem
Hukum Pidana Belanda
Negara Belanda
membuat perundang-undangan hukum pidana sejak tahun 1795 dan disahkan pada
tahun 1809 pada saat pemerintahan Lodewijk Napoleon. Kodifikasi hukum
pidana nasional pertama ini disebut dengan  Crimineel Wetboek voor Het Koninkrijk
Holland. Namun baru dua tahun berlaku, pada tahun 1811 Perancis datang
menjajah Belanda dan memberlakukan Code Penal (kodifikasi hukum pidana)
yang dibuat tahun 1810 saat Napoleon Bonaparte menjadi penguasa
Perancis. Pada tahun 1813, Perancis meninggalkan negara Belanda. Namun demikian
negara Belanda masih mempertahankan Code Penal itu sampai tahun 1886. Setelah
perginya Perancis pada tahun 1813, Belanda melakukan usaha pembaharuan hukum
pidananya (Code Penal) selama kurang lebih 68 tahun (sampai tahun 1881). Selama
usaha pembaharuan hukum pidana itu, Code Penal  mengalami beberapa
perubahan, terutama pada ancaman pidananya. Pidana penyiksaan dan pidana cap
bakar yang ada dalam Code  Penal  ditiadakan dan diganti dengan
pidana yang lebih lunak. Pada tahun 1881, Belanda mengesahkan hukum pidananya
yang baru dengan nama Wetboek van Strafrecht sebagai pengganti Code
Penal Napoleon dan mulai diberlakukan lima tahun kemudian, yaitu pada tahun
1886. Sebelum negara Belanda mengesahkan Wetboek van Strafrecht sebagai
pengganti Code Penal Napoleon pada tahun 1886, di wilayah Hindia Belanda
sendiri ternyata pernah diberlakukan Wetboek van Strafrecht voor Europeanen
(Kitab Undang-undang Hukum Pidana Eropa) dengan Staatblad Tahun 1866 Nomor 55
dan dinyatakan berlaku sejak 1 Januari 1867. Bagi masyarakat bukan Eropa
diberlakukan Wetboek van Strafrecht voor Inlander (Kitab Undang-undang
Hukum Pidana Pribumi) dengan Staatblad Tahun 1872 Nomor 85 dan dinyatakan
berlaku sejak 1 Januari 73.
Penal code
tahun 1881 (berlaku efektif tahun 1886) merupakan induk dari :
1.      Undang –
undang kepenjaraan (beginselen gevanengiswezen)
2.      Peraturan
tata tertib penjara (gevangensmaatregel)
3.      Undang –
undang tentang probation 1970.
4.      Undang –
undang tentang penderita penyakit jiwa (psychopaten reglement)
5.      Peraturan
tentang tindakan tindakan yang di ambil pihak kepolisian.
        
The judicial
organization act (1827) merupakan induk dari undang – undang yang mengatur
organisasi penasehat hukum (advocaten wet).
        
The code of
criminal procedure (dibentuk tahun 1838 dan dicabut/di gantikan dengan undang –
undang tahun 1921 yang berlaku tahun 1926) adalah induk dari :
1.      Peraturan
umum tentang batas waktu (daluarsa) dalam perkara perkara pidana (algemene
termijnen wet ).
2.      Peraturan
tentang ongkos/biaya perkara pidana (wet tarieven in strafzaken).
3.      Keputusan
grasi
4.      Peraturan
tentang catatan pelaku tindak pidana dan surat keterangan kelakuan baik (wet of
de justitiele documentenen op de verlkaringen omtrent het gedrag).
5.      Keputusan
pembebasan dari catatan pengadilan (besluit inlichtingen justitiele
documentatie).
Case law
tidak di publikasikan secara resmi oleh pemerintah. Kumpulan putusan – putusan
mahkamah agung ( hooge raad) dalam perkara pidana terdapat dalam : komentar
komentar tentang “delikten delinkwet (1970)”. Doktrin yang berisikan pendapat-
pendapat, buku–buku acuan dan jurnal yang terkanal dalam hukum pidana.
KUHP belanda terus menerus diubah sesuai dengan
tuntutan kemajuan teknologi dengan penghapusan (deskriminalisasi) misal delik
mukah (overspel) telah dihapus kemudian perubahan rumusan delik, misal Pasal
239 yang sepadan dengan Pasal 281 KUHP. Kata-kata “di depan umum” diganti
dengan”di tempat yang menjadi lalu lintas umum” dengan analogi bahwa di dalam
kamar tidur rumah sendiri bertelanjang dengan membuka jendela kamar yang
menghadap ke jalan umum, berarti di depan umum karena dapat dilihat oleh orang
yang lewat jalan tersebut. Tetapi jelas tidak lagi dapat dipidana di belanda
perbuatan semacam itu, karena tempat tidur rumah sendiri bukanlah tempat yang
menjadi lalu lintas umum.
Sistem denda dalam KUHP belanda didasarkan pada
kategori, dari kategori satu sampai dengan enam. Dalam kategori tersebut
dicantumkan maksimum denda. Dicantumkan dalan Buku I yaitu Pasal 23.
Korporasi (badan hukum) juga dicantumkan ke dalam KUHP
belanda sejak Tahun 1976 yang dapat dijatuhi hukuman berupa hukuman denda,
karena tidak mungkin dipakai hukuman penjara.
Dicantumkannya sistem pidana alternatif ada juga
alternatif/kumulatif denda pada semua perumusan delik, termasuk delik terhadap
keamanan negara, tidak terkecuali makar terhadap negara.
B.    Sistem
Hukum Pidana Indonesia
1. Masa
Sebelum Penjajahan Belanda
Tercatat
terdapat beberapa hukum pidana yang pernah ada dan berlaku di beberapa wilayah
hukum kerajaan-kerajaan di Nusantara, antara lain: Ciwasana atau Purwadhigama
pada abad ke-10 di masa Raja Dharmawangsa; Kitab Gajamada pada
pertengahan abad ke -14, yang diberi nama oleh Mahapatih Majapahit, Gajahmada;
Kitab Simbur Cahaya yang dipakai pada masa pemerintahan Ratu Senuhun
Seding di Palembang; Kitab Kuntara Raja Niti di Lampung yang digunakan
pada awal abad 16; Kitab Lontara’ ade’ yang berlaku di Sulawesi Selatan
sampai akhir abad 19; Patik Dohot Uhum ni Halak Batak di Tanah Batak;
dan Awig-awig di Bali. Kitab-kitab tersebut hanya sebagian dari hukum
pidana yang pernah berlaku di wilayah Nusantara.
2. Masa
Sesudah Kedatangan Penjajahan Belanda
a. Masa Vereenigde
Oost Indische Compagnie (VOC) Tahun 1602-1799
Hukum yang
pertama kali digunakan oleh VOC pada pusat-pusat perdagangan mereka di
Nusantara adalah hukum yang dijalankan di atas kapal-kapal VOC (Scheeps
Recht). Hukum kapal ini terdiri dari dua bagian, yaitu hukum Belanda kuno
dan asas-asas hukum Romawi. Dalam perkembangannya, VOC kemudian mendapatkan
Octrooi Staten General, sehingga dapat bertindak sebagai suatu badan pemerintah
yang memiliki hak istimewa untuk memonopoli pelayaran dan perdagangan,
mengumumkan perang, mengadakan perdamaian dengan kerajaan-kerajaan di
Nusantara, dan mencetak uang. Oleh karena itu, dalam melaksanakan kekuasaan
yang dimilikinya, VOC kemudian mengeluarkan instruksi atau maklumat dalam
bentuk plakat-plakat (plakaten).
Pada awalnya
plakat tersebut hanya berlaku untuk wilayah kota Betawi. Namun seiring dengan
kekuasaannya yang semakin meluas juga diberlakukan di seluruh wilayah VOC.
Dikarenakan sejak awal tidak disusun dan dikumpulkan secara baik dan teratur,
Gubernur Jenderal Van Diemen kemudian memerintahkan Joan Maetsuycker untuk
menyusun dan mengumpulkan plakat-plakat tersebut, yang kemudian dikenal dengan
istilah Statuten van Batavia.  Dengan demikian pada masa VOC telah
berlaku:
1.               
Hukum statuten (termuat di
dalam Statuta Batavia);
2.               
Hukum Belanda yang kuno;
3.               
Asas-asas hukum Romawi.
b. Masa Besluiten
Regering Tahun 1814-1855
Masa Besluiten
Regering dimulai saat peralihan kekuasaan dari Kerajaan Inggris kepada
Kerajaan Belanda yang berdasarkan Konvensi London tanggal 13 Agustus 1814.
Konvensi ini mengharuskan Kerajaan Inggris untuk mengembalikan bekas koloni
Belanda yang pernah dikuasainya kepada Pemerintah Belanda. Untuk melaksanakan
kekuasaannya, Pemerintah Belanda kemudian menunjuk tiga orang Komisaris
Jenderal yang terdiri dari: Elout, Buyskes, dan Van der Capellen. Para
Komisaris Jenderal tetap memberlakukan peraturan-peraturan yang berlaku pada masa
Inggris dan tidak mengadakan perubahan peraturan karena menunggu terbentuknya
kodifikasi hukum. Pada masa ini tidak ada ketentuan baru di bidang hukum
pidana.
c. Masa Regeling
Reglement Tahun 1855-1926
Perubahan
undang-undang dasar (Grond wet) di Belanda membawa akibat pada perubahan
peraturan perundang-undangan yang berlaku di seluruh wilayah Belanda dan daerah
jajahannya. Perubahan itu membuat kekuasaan raja Belanda menjadi berkurang,
salah satunya dalam hal pembuatan undang-undang. Sehingga peraturan yang
diterapkan tidak hanya Koninklijk Besluit saja tetapi juga harus melalui
mekanisme perundang-undangan di tingkat parlemen.
Peraturan
dasar yang dibuat bersama oleh raja dan parlemen untuk mengatur daerah jajahan
adalah Regeling Reglement (RR) yang dibuat dalam bentuk undang-undang
dan diundangkan dengan Staatblad No. 2 Tahun 1855. Pada masa RR inilah
terdapat beberapa ketentuan terkait hukum pidana, yaitu:
1.    
Wetboek van Strafrecht voor
Europeanen atau kitab Undang-Undang Hukum Pidana Eropa yang diundangkan dengan
Staatblad No. 55 tahun 1866.
2.    
Algemene Politie Strafreglement atau
tambahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Eropa.
3.    
Wetboek van Strafrecht voor Inlander
atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pribumi yang diundangkan dengan Staatblad
No 85 tahun 1872.
4.    
Politie Strafreglement bagi orang
bukan Eropa.
5.    
Wetboek van Strafrecht voor
Netherlands-Indie atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Hindia Belanda yang
diundangkan dengan Staatblad No. 732 tahun 1915 yang mulai berlaku 1 Januari
1918.
d. Masa Indische
Staatregeling Tahun 1926-1942
Indische
Staatregeling (IS) merupakan perubahan dari Regeling Reglement (RR) yang mulai
berlaku sejak 1 Januari 1926, dengan diundangkannya Staatblad No. 415 tahun
1925. Perubahan Grond Wet, khususnya mengenai pembagian golongan penduduk
Indonesia beserta hukum yang berlaku, semakin mempertegas pemberlakuan hukum
pidana Belanda yang sesuai dengan asas konkordansi. Ketentuan mengenai
pembagian golongan penduduk tersebut diatur di dalam Pasal 131 jo pasal 163 IS.
 e.
Masa Pendudukan Jepang Tahun 1942-1945
Masa
pendudukan Jepang selama kurang lebih 3,5 tahun tidak memberikan perubahan yang
signifikan dalam ketentuan hukum yang diberlakukan. Pemerintah Militer Jepang
mengeluarkan Osamu Seirei No. 1 Tahun 1942, yang mengatur antara lain: perihal
badan-badan pemerintahan, hukum, dan pengakuan terhadap peraturan
perundang-undangan yang berlaku pada masa kolonial Belanda sepanjang tidak
bertentangan dengan pemerintahan milliter.
Dalam hal
pemberlakuan hukum pidana, pemerintah militer Jepang mengeluarkan Gun Seirei
nomor istimewa, Gun Seirei No. 25 tahun 1944 tentang pengaturan hukum pidana
umum dan hukum pidana khusus dan Gun Seirei No. 14 tahun 1942 tentang
Pengadilan di Hindia Belanda.
3. Masa
Kemerdekaan
Proklamasi
kemerdekaan Republik Indonesia merupakan titik puncak perlawanan bangsa
Indonesia terhadap penjajahan dan juga ungkapan tekad untuk mengubah sistem
hukum kolonial menjadi sistem hukum nasional. Meskipun demikian, untuk
membuat satu sistem hukum yang bersifat nasional tentu saja bukan perkara mudah
dan membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Oleh karena itu, untuk mengisi
kekosongan hukum, Undang-Undang Dasar 1945 kemudian memberikan kelonggaran
melalui Ketentuan Peralihan Pasal II UUD 1945 dengan menyatakan: “Segala badan
negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang
baru menurut Undang-Undang Dasar ini.” Ketentuan tersebutlah yang kemudian
menjadi dasar hukum pemberlakuan semua peraturan perundang-undangan pada masa
kolonial di masa kemerdekaan.
Untuk
melaksanakan dalam tataran praktis, Presiden Soekarno mengeluarkan Peraturan
Presiden No. 2 Tahun 1945 tanggal 10 Oktober 1945 yang terdiri dari dua pasal,
yaitu:
Pasal 1 :
Segala Badan-Badan Negara dan Peraturan-Peraturan yang ada sampai berdirinya
Negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, selama belum diadakan
yang baru menurut Undang-Undang Dasar masih berlaku asal saja tidak
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar tersebut.
Pasal 2
 : Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal 17 Agustus 1945.
Dengan
adanya Peraturan Presiden tersebut tentu saja makin memperjelas dan mempertegas
pemberlakuan semua peraturan perundang-undangan yang pernah ada pada masa
kolonial sampai dengan adanya peraturan baru yang dapat menggantikannya. Demikian
pula halnya dengan ketentuan yang mengatur tentang hukum pidana  -juga
diberlakukan.
Untuk
menegaskan kembali pemberlakuan hukum pidana pada masa kolonial tersebut, pada
tanggal 26 Februari 1946, pemerintah kemudian mengeluarkan Undang-Undang No. 1
tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Undang-undang inilah yang kemudian
dijadikan dasar hukum perubahan Wetboek van Strafrecht voor Netherlands
Indie menjadi Wetboek van Strafrecht (WvS), yang kemudian dikenal
dengan nama Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Sebagaimana yang ditegaskan dalam
Pasal 1 -nya yang menyatakan, “Dengan menyimpang seperlunya dari Peraturan
Presiden Republik Indonesia tertanggal 10 Oktober 1945 No. 2, menetapkan bahwa
peraturan-peraturan hukum pidana yang sekarang berlaku ialah peraturan-peraturan
hukum pidana yang ada pada tanggal 8 maret 1942.”
Meskipun
demikian, dalam Pasal XVII UU No. 2 Tahun 1946 juga terdapat ketentuan yang
menyatakan bahwa “Undang-undang ini mulai berlaku buat pulau Jawa dan Madura
pada hari diumumkannya dan buat daerah lain pada hari yang akan ditetapkan oleh
Presiden.” Dengan demikian, pemberlakuan Wetboek van Strafrecht voor
Netherlands Indie menjadi Wetboek van Strafrecht hanya terbatas pada
wilayah jawa dan Madura.
Pemberlakuan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana di seluruh wilayah Republik Indonesia atau
nasional baru dilakukan pada tanggal 20 September 1958, dengan diundangkannya
UU No. 7 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun
1946 Republik Indonesia tentang  Peraturan Hukum Pidana Untuk Seluruh
Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 1-nya yang berbunyi, “Undang-Undang No.
1 tahun 1946 Republik Indonesia tentang Peraturan Hukum Pidana dinyatakan
berlaku untuk seluruh wilayah Republik Indonesia.”
Meskipun
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana telah diberlakukan secara nasional tidak
berarti bahwa upaya untuk membuat sistem hukum pidana yang baru terhenti. Upaya
melakukan pembaruan hukum pidana terus berjalan semenjak tahun 1958 dengan
berdirinya Lembaga Pembinaan Hukum Nasional sebagai upaya untuk membentuk KUHP
Nasional yang baru. Seminar Hukum Nasional I yang diadakan pada tahun 1963
telah menghasilkan berbagai resolusi yang antara lain adanya desakan untuk menyelesakan
KUHP Nasional dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Upaya tersebut masih terus
berjalan dan telah menghasilkan beberapa konsep rancangan undang-undang.
Meskipun demikian, konsep-konsep tersebut tidak pernah sampai pada kata “final”
dengan menyerahkannya pada legislatif. Setidaknya, sampai dengan tulisan ini
dibuat, belum ada informasi lebih lanjut mengenai kelanjutan pembahasan
rancangan undang-undang hukum pidana nasional yang mengabsorbsi semangat
kemerdekaan dan proklamasi.
C.   
Perbedaan dan Persamaan
Sistem Hukum Pidana Belanda dengan Sistem Hukum Pidana Indonesia
Terdapat
perbedaan antara KUHP Indonesia dengan KUHP belanda padahal jika ditilik dari
historisnya KUHP Indonesia (WvS) mengadopsi dari KUHP Belanda(Ned. MvS)
sehingga secara otomatis harusnya tidak ada perbedaan yang signifikan antara
Belanda dengan Indonesia, akan tetapi setelah dipelajari dan dikomparasikan
terdapat sekali perbedaan, sebab KUHP belanda dirubah dengan mereduksi
hukum-hukum baru yang lebih update dan lebih fleksibel terhadap keadaan dan
tidak kaku, sedangkan Indonesia belum mampu untuk merubah hukum yang dipakai
dari KUHP Belanda hingga sekarang, jadi Indonesia masih mencerminkan hukum yang
pertama kali dibuat oleh Belanda dan sama sekali tidak beradaptasi dengan masyarakat
pada umumnya, adapun perbedaannya adalah sebagai berikut
| 
   
No. 
 | 
  
   
Perbedaan  
 | 
  
   
KUHP Indonesia 
 | 
  
   
KUHP Belanda 
 | 
 
| 
   
1 
 | 
  
   
Penggunaan subjek hukum korporasi 
 | 
  
   
Belum dicantumkan 
 | 
  
   
Sudah dicantumkan sejak tahun 1976 
 | 
 
| 
   
2 
 | 
  
   
Sistem denda 
 | 
  
   
Di taruh pada setiap Pasal tindak Pidana 
 | 
  
   
Dirumuskan menjadi beberapa kategori, dan pada
  pasalnya hny disebutkan “denda untuk kategori” 
 | 
 
| 
   
3 
 | 
  
   
Hukuman pidana 
 | 
  
   
Dicantumkan hukuman mati dalam pasal 10 
 | 
  
   
Tidak lagi dipakai dan tidak dicantumkan, dalam
  hukuman tambahan dicantumkan hukuman penempatan kerja di Negara 
 | 
 
| 
   
4 
 | 
  
   
Sesuai dengan kebutuhan masyarakat 
 | 
  
   
Tidak sebab walaupun perbuatan pidana sekecil apapun
  itu akan tetap dijatuhi hukum pidana 
 | 
  
   
Iya, sebab pada Pasal 9a dijelaskan bahwa delik
  kecil tidak perlu dijatuhi pidana atau tindakan 
 | 
 
| 
   
5 
 | 
  
   
Sistem pemidanaan 
 | 
  
   
Alternatif  
 | 
  
   
Alternatif, alternatif kumulatif dan kumulatif 
 | 
 
Hal ini
membuktikan bahwa Indonesia belum mampu untuk menjadi negara yang independent,
walaupun secara de-juro dan de-facto Indonesia sudah dapat dinyatakan sebagai
negara yang merdeka. Ketidak mampuan Indonesia dalam mengikuti
perkembangan-perkembangan hukum yang maju belum dapat dilihat, terbuti bahwa
KUHP Indonesia masih menerapkan KUHP lama Belanda yang sudah tidak sesuai
dengan perkembangan zaman dan tidak sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan
masyarakat.
            Adapun persamaan sistem hukum pidana
Belanda dengan sistem hukum pidana Indonesia yaitu :
Belanda dan Indonesia
sama-sama mengambil sistem hukum dari negara yang menjajahnya. Belanda
mengambil sistem hukum pidana yaitu Code Penal produk dari Perancis. Sedangkan
Indonesia mengambil sistem hukum Pidana dari Belanda yaitu Wetboek van
Strafrecht (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).
BAB III
PENUTUP
A.   
Kesimpulan
Lahirnya sistem hukum pidana Indonesia
tidak bisa dilepas dari keberadaan negara Belanda yang pernah menjajah
Indonesia. Karena produk hukum pidana yang dipakai oleh Indonesia sampai saat
ini merupakan produk hukum pidana dari Belanda.
Namun banyak sekali perbedaan antara
sistem hukum pidana Belanda dengan sistem hukum pidana Indonesia. Belanda sudah
melakukan beberapa kali perubahan  agar
sesuai dengan kebutuhan masyarakat, namun Indonesia belum melakukan perubahan
dalam sistem hukum pidana.
B.   
Saran
Sebaiknya pemerintah Indonesia melakukan
perubahan-perubahan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana agar lebih sesuai
dengan kebutuhan masyarakat Indonesia agar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ini
dapat benar-benar berlaku dan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat.