Selasa, 07 Agustus 2018

PERBANDINGAN HUKUM ANTARA SISTEM HUKUM PIDANA BELANDA DENGAN SISTEM HUKUM PIDANA INDONESIA


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Sebelum para penjajah datang ke Indonesia, hukum yang berlaku di negara tersebut adalah hukum adat dimana hukum adat tersebut hanya merupakan kebiasaan-kebiasaan dari masyarakat setempat dan biasanya hukum adat ini tidak tertulis. Dalam buku “Sistem Hukum Indonesia”, pada dasarnya sistem hukum nasional Indonesia terbentuk dan dipengaruhi oleh tiga pilar sistem hukum, yaitu sistem hukum barat, sistem hukum adat, dan sistem hukum islam. Penjajah Indonesia khususnya Belanda telah mempengaruhi hukum yang berlaku di Indonesia sehingga dengan kata lain hukum barat yang menjadi salah satu pengaruh pembentukan sistem hukum nasional kita merupakan salah satu warisan penjajah kolonial Belanda. Implikasi yang masih sangat kuat dan kita rasakan dalam menjalankan hukum di negeri ini adalah di mana segala bentuk hukum pidana dan perdata adalah produk Belanda. Hingga saat ini KUHP yang Indonesia gunakan sekarang adalah produk pemerintahan kolonial Belanda.

B.    Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalahnya yaitu :
1.     Bagaimana sejarah dan karakter sistem hukum pidana Belanda?
2.     Bagaimana sejarah dan karakter sistem hukum pidana Indonesia?
3.     Bagaimana perbedaan dan persamaan sistem pidana Belanda dan sistem pidana Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sistem Hukum Pidana Belanda
Negara Belanda membuat perundang-undangan hukum pidana sejak tahun 1795 dan disahkan pada tahun 1809 pada saat pemerintahan Lodewijk Napoleon. Kodifikasi hukum pidana nasional pertama ini disebut dengan  Crimineel Wetboek voor Het Koninkrijk Holland. Namun baru dua tahun berlaku, pada tahun 1811 Perancis datang menjajah Belanda dan memberlakukan Code Penal (kodifikasi hukum pidana) yang dibuat tahun 1810 saat Napoleon Bonaparte menjadi penguasa Perancis. Pada tahun 1813, Perancis meninggalkan negara Belanda. Namun demikian negara Belanda masih mempertahankan Code Penal itu sampai tahun 1886. Setelah perginya Perancis pada tahun 1813, Belanda melakukan usaha pembaharuan hukum pidananya (Code Penal) selama kurang lebih 68 tahun (sampai tahun 1881). Selama usaha pembaharuan hukum pidana itu, Code Penal  mengalami beberapa perubahan, terutama pada ancaman pidananya. Pidana penyiksaan dan pidana cap bakar yang ada dalam Code  Penal  ditiadakan dan diganti dengan pidana yang lebih lunak. Pada tahun 1881, Belanda mengesahkan hukum pidananya yang baru dengan nama Wetboek van Strafrecht sebagai pengganti Code Penal Napoleon dan mulai diberlakukan lima tahun kemudian, yaitu pada tahun 1886. Sebelum negara Belanda mengesahkan Wetboek van Strafrecht sebagai pengganti Code Penal Napoleon pada tahun 1886, di wilayah Hindia Belanda sendiri ternyata pernah diberlakukan Wetboek van Strafrecht voor Europeanen (Kitab Undang-undang Hukum Pidana Eropa) dengan Staatblad Tahun 1866 Nomor 55 dan dinyatakan berlaku sejak 1 Januari 1867. Bagi masyarakat bukan Eropa diberlakukan Wetboek van Strafrecht voor Inlander (Kitab Undang-undang Hukum Pidana Pribumi) dengan Staatblad Tahun 1872 Nomor 85 dan dinyatakan berlaku sejak 1 Januari 73.
Penal code tahun 1881 (berlaku efektif tahun 1886) merupakan induk dari :
1.      Undang – undang kepenjaraan (beginselen gevanengiswezen)
2.      Peraturan tata tertib penjara (gevangensmaatregel)
3.      Undang – undang tentang probation 1970.
4.      Undang – undang tentang penderita penyakit jiwa (psychopaten reglement)
5.      Peraturan tentang tindakan tindakan yang di ambil pihak kepolisian.
         The judicial organization act (1827) merupakan induk dari undang – undang yang mengatur organisasi penasehat hukum (advocaten wet).
         The code of criminal procedure (dibentuk tahun 1838 dan dicabut/di gantikan dengan undang – undang tahun 1921 yang berlaku tahun 1926) adalah induk dari :
1.      Peraturan umum tentang batas waktu (daluarsa) dalam perkara perkara pidana (algemene termijnen wet ).
2.      Peraturan tentang ongkos/biaya perkara pidana (wet tarieven in strafzaken).
3.      Keputusan grasi
4.      Peraturan tentang catatan pelaku tindak pidana dan surat keterangan kelakuan baik (wet of de justitiele documentenen op de verlkaringen omtrent het gedrag).
5.      Keputusan pembebasan dari catatan pengadilan (besluit inlichtingen justitiele documentatie).
Case law tidak di publikasikan secara resmi oleh pemerintah. Kumpulan putusan – putusan mahkamah agung ( hooge raad) dalam perkara pidana terdapat dalam : komentar komentar tentang “delikten delinkwet (1970)”. Doktrin yang berisikan pendapat- pendapat, buku–buku acuan dan jurnal yang terkanal dalam hukum pidana.
KUHP belanda terus menerus diubah sesuai dengan tuntutan kemajuan teknologi dengan penghapusan (deskriminalisasi) misal delik mukah (overspel) telah dihapus kemudian perubahan rumusan delik, misal Pasal 239 yang sepadan dengan Pasal 281 KUHP. Kata-kata “di depan umum” diganti dengan”di tempat yang menjadi lalu lintas umum” dengan analogi bahwa di dalam kamar tidur rumah sendiri bertelanjang dengan membuka jendela kamar yang menghadap ke jalan umum, berarti di depan umum karena dapat dilihat oleh orang yang lewat jalan tersebut. Tetapi jelas tidak lagi dapat dipidana di belanda perbuatan semacam itu, karena tempat tidur rumah sendiri bukanlah tempat yang menjadi lalu lintas umum.
Sistem denda dalam KUHP belanda didasarkan pada kategori, dari kategori satu sampai dengan enam. Dalam kategori tersebut dicantumkan maksimum denda. Dicantumkan dalan Buku I yaitu Pasal 23.
Korporasi (badan hukum) juga dicantumkan ke dalam KUHP belanda sejak Tahun 1976 yang dapat dijatuhi hukuman berupa hukuman denda, karena tidak mungkin dipakai hukuman penjara.
Dicantumkannya sistem pidana alternatif ada juga alternatif/kumulatif denda pada semua perumusan delik, termasuk delik terhadap keamanan negara, tidak terkecuali makar terhadap negara.





B.    Sistem Hukum Pidana Indonesia
1. Masa Sebelum Penjajahan Belanda
Tercatat terdapat beberapa hukum pidana yang pernah ada dan berlaku di beberapa wilayah hukum kerajaan-kerajaan di Nusantara, antara lain: Ciwasana atau Purwadhigama pada abad ke-10 di masa Raja Dharmawangsa; Kitab Gajamada pada pertengahan abad ke -14, yang diberi nama oleh Mahapatih Majapahit, Gajahmada; Kitab Simbur Cahaya yang dipakai pada masa pemerintahan Ratu Senuhun Seding di Palembang; Kitab Kuntara Raja Niti di Lampung yang digunakan pada awal abad 16; Kitab Lontara’ ade’ yang berlaku di Sulawesi Selatan sampai akhir abad 19; Patik Dohot Uhum ni Halak Batak di Tanah Batak; dan Awig-awig di Bali. Kitab-kitab tersebut hanya sebagian dari hukum pidana yang pernah berlaku di wilayah Nusantara.
2. Masa Sesudah Kedatangan Penjajahan Belanda
a. Masa Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) Tahun 1602-1799
Hukum yang pertama kali digunakan oleh VOC pada pusat-pusat perdagangan mereka di Nusantara adalah hukum yang dijalankan di atas kapal-kapal VOC (Scheeps Recht). Hukum kapal ini terdiri dari dua bagian, yaitu hukum Belanda kuno dan asas-asas hukum Romawi. Dalam perkembangannya, VOC kemudian mendapatkan Octrooi Staten General, sehingga dapat bertindak sebagai suatu badan pemerintah yang memiliki hak istimewa untuk memonopoli pelayaran dan perdagangan, mengumumkan perang, mengadakan perdamaian dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara, dan mencetak uang. Oleh karena itu, dalam melaksanakan kekuasaan yang dimilikinya, VOC kemudian mengeluarkan instruksi atau maklumat dalam bentuk plakat-plakat (plakaten).
Pada awalnya plakat tersebut hanya berlaku untuk wilayah kota Betawi. Namun seiring dengan kekuasaannya yang semakin meluas juga diberlakukan di seluruh wilayah VOC. Dikarenakan sejak awal tidak disusun dan dikumpulkan secara baik dan teratur, Gubernur Jenderal Van Diemen kemudian memerintahkan Joan Maetsuycker untuk menyusun dan mengumpulkan plakat-plakat tersebut, yang kemudian dikenal dengan istilah Statuten van Batavia.  Dengan demikian pada masa VOC telah berlaku:
1.                Hukum statuten (termuat di dalam Statuta Batavia);
2.                Hukum Belanda yang kuno;
3.                Asas-asas hukum Romawi.
b. Masa Besluiten Regering Tahun 1814-1855
Masa Besluiten Regering dimulai saat peralihan kekuasaan dari Kerajaan Inggris kepada Kerajaan Belanda yang berdasarkan Konvensi London tanggal 13 Agustus 1814. Konvensi ini mengharuskan Kerajaan Inggris untuk mengembalikan bekas koloni Belanda yang pernah dikuasainya kepada Pemerintah Belanda. Untuk melaksanakan kekuasaannya, Pemerintah Belanda kemudian menunjuk tiga orang Komisaris Jenderal yang terdiri dari: Elout, Buyskes, dan Van der Capellen. Para Komisaris Jenderal tetap memberlakukan peraturan-peraturan yang berlaku pada masa Inggris dan tidak mengadakan perubahan peraturan karena menunggu terbentuknya kodifikasi hukum. Pada masa ini tidak ada ketentuan baru di bidang hukum pidana.

c. Masa Regeling Reglement Tahun 1855-1926
Perubahan undang-undang dasar (Grond wet) di Belanda membawa akibat pada perubahan peraturan perundang-undangan yang berlaku di seluruh wilayah Belanda dan daerah jajahannya. Perubahan itu membuat kekuasaan raja Belanda menjadi berkurang, salah satunya dalam hal pembuatan undang-undang. Sehingga peraturan yang diterapkan tidak hanya Koninklijk Besluit saja tetapi juga harus melalui mekanisme perundang-undangan di tingkat parlemen.
Peraturan dasar yang dibuat bersama oleh raja dan parlemen untuk mengatur daerah jajahan adalah Regeling Reglement (RR) yang dibuat dalam bentuk undang-undang dan diundangkan dengan Staatblad No. 2 Tahun 1855. Pada masa RR inilah terdapat beberapa ketentuan terkait hukum pidana, yaitu:
1.     Wetboek van Strafrecht voor Europeanen atau kitab Undang-Undang Hukum Pidana Eropa yang diundangkan dengan Staatblad No. 55 tahun 1866.
2.     Algemene Politie Strafreglement atau tambahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Eropa.
3.     Wetboek van Strafrecht voor Inlander atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pribumi yang diundangkan dengan Staatblad No 85 tahun 1872.
4.     Politie Strafreglement bagi orang bukan Eropa.
5.     Wetboek van Strafrecht voor Netherlands-Indie atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Hindia Belanda yang diundangkan dengan Staatblad No. 732 tahun 1915 yang mulai berlaku 1 Januari 1918.


d. Masa Indische Staatregeling Tahun 1926-1942
Indische Staatregeling (IS) merupakan perubahan dari Regeling Reglement (RR) yang mulai berlaku sejak 1 Januari 1926, dengan diundangkannya Staatblad No. 415 tahun 1925. Perubahan Grond Wet, khususnya mengenai pembagian golongan penduduk Indonesia beserta hukum yang berlaku, semakin mempertegas pemberlakuan hukum pidana Belanda yang sesuai dengan asas konkordansi. Ketentuan mengenai pembagian golongan penduduk tersebut diatur di dalam Pasal 131 jo pasal 163 IS.
 e. Masa Pendudukan Jepang Tahun 1942-1945
Masa pendudukan Jepang selama kurang lebih 3,5 tahun tidak memberikan perubahan yang signifikan dalam ketentuan hukum yang diberlakukan. Pemerintah Militer Jepang mengeluarkan Osamu Seirei No. 1 Tahun 1942, yang mengatur antara lain: perihal badan-badan pemerintahan, hukum, dan pengakuan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku pada masa kolonial Belanda sepanjang tidak bertentangan dengan pemerintahan milliter.
Dalam hal pemberlakuan hukum pidana, pemerintah militer Jepang mengeluarkan Gun Seirei nomor istimewa, Gun Seirei No. 25 tahun 1944 tentang pengaturan hukum pidana umum dan hukum pidana khusus dan Gun Seirei No. 14 tahun 1942 tentang Pengadilan di Hindia Belanda.
3. Masa Kemerdekaan
Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia merupakan titik puncak perlawanan bangsa Indonesia terhadap penjajahan dan juga ungkapan tekad untuk mengubah sistem hukum kolonial menjadi sistem hukum nasional. Meskipun demikian, untuk membuat satu sistem hukum yang bersifat nasional tentu saja bukan perkara mudah dan membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Oleh karena itu, untuk mengisi kekosongan hukum, Undang-Undang Dasar 1945 kemudian memberikan kelonggaran melalui Ketentuan Peralihan Pasal II UUD 1945 dengan menyatakan: “Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.” Ketentuan tersebutlah yang kemudian menjadi dasar hukum pemberlakuan semua peraturan perundang-undangan pada masa kolonial di masa kemerdekaan.
Untuk melaksanakan dalam tataran praktis, Presiden Soekarno mengeluarkan Peraturan Presiden No. 2 Tahun 1945 tanggal 10 Oktober 1945 yang terdiri dari dua pasal, yaitu:
Pasal 1 : Segala Badan-Badan Negara dan Peraturan-Peraturan yang ada sampai berdirinya Negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar masih berlaku asal saja tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar tersebut.
Pasal 2  : Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal 17 Agustus 1945.
Dengan adanya Peraturan Presiden tersebut tentu saja makin memperjelas dan mempertegas pemberlakuan semua peraturan perundang-undangan yang pernah ada pada masa kolonial sampai dengan adanya peraturan baru yang dapat menggantikannya. Demikian pula halnya dengan ketentuan yang mengatur tentang hukum pidana  -juga diberlakukan.
Untuk menegaskan kembali pemberlakuan hukum pidana pada masa kolonial tersebut, pada tanggal 26 Februari 1946, pemerintah kemudian mengeluarkan Undang-Undang No. 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Undang-undang inilah yang kemudian dijadikan dasar hukum perubahan Wetboek van Strafrecht voor Netherlands Indie menjadi Wetboek van Strafrecht (WvS), yang kemudian dikenal dengan nama Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 1 -nya yang menyatakan, “Dengan menyimpang seperlunya dari Peraturan Presiden Republik Indonesia tertanggal 10 Oktober 1945 No. 2, menetapkan bahwa peraturan-peraturan hukum pidana yang sekarang berlaku ialah peraturan-peraturan hukum pidana yang ada pada tanggal 8 maret 1942.”
Meskipun demikian, dalam Pasal XVII UU No. 2 Tahun 1946 juga terdapat ketentuan yang menyatakan bahwa “Undang-undang ini mulai berlaku buat pulau Jawa dan Madura pada hari diumumkannya dan buat daerah lain pada hari yang akan ditetapkan oleh Presiden.” Dengan demikian, pemberlakuan Wetboek van Strafrecht voor Netherlands Indie menjadi Wetboek van Strafrecht hanya terbatas pada wilayah jawa dan Madura.
Pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana di seluruh wilayah Republik Indonesia atau nasional baru dilakukan pada tanggal 20 September 1958, dengan diundangkannya UU No. 7 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 Republik Indonesia tentang  Peraturan Hukum Pidana Untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 1-nya yang berbunyi, “Undang-Undang No. 1 tahun 1946 Republik Indonesia tentang Peraturan Hukum Pidana dinyatakan berlaku untuk seluruh wilayah Republik Indonesia.”
Meskipun Kitab Undang-Undang Hukum Pidana telah diberlakukan secara nasional tidak berarti bahwa upaya untuk membuat sistem hukum pidana yang baru terhenti. Upaya melakukan pembaruan hukum pidana terus berjalan semenjak tahun 1958 dengan berdirinya Lembaga Pembinaan Hukum Nasional sebagai upaya untuk membentuk KUHP Nasional yang baru. Seminar Hukum Nasional I yang diadakan pada tahun 1963 telah menghasilkan berbagai resolusi yang antara lain adanya desakan untuk menyelesakan KUHP Nasional dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Upaya tersebut masih terus berjalan dan telah menghasilkan beberapa konsep rancangan undang-undang. Meskipun demikian, konsep-konsep tersebut tidak pernah sampai pada kata “final” dengan menyerahkannya pada legislatif. Setidaknya, sampai dengan tulisan ini dibuat, belum ada informasi lebih lanjut mengenai kelanjutan pembahasan rancangan undang-undang hukum pidana nasional yang mengabsorbsi semangat kemerdekaan dan proklamasi.

C.    Perbedaan dan Persamaan Sistem Hukum Pidana Belanda dengan Sistem Hukum Pidana Indonesia

Terdapat perbedaan antara KUHP Indonesia dengan KUHP belanda padahal jika ditilik dari historisnya KUHP Indonesia (WvS) mengadopsi dari KUHP Belanda(Ned. MvS) sehingga secara otomatis harusnya tidak ada perbedaan yang signifikan antara Belanda dengan Indonesia, akan tetapi setelah dipelajari dan dikomparasikan terdapat sekali perbedaan, sebab KUHP belanda dirubah dengan mereduksi hukum-hukum baru yang lebih update dan lebih fleksibel terhadap keadaan dan tidak kaku, sedangkan Indonesia belum mampu untuk merubah hukum yang dipakai dari KUHP Belanda hingga sekarang, jadi Indonesia masih mencerminkan hukum yang pertama kali dibuat oleh Belanda dan sama sekali tidak beradaptasi dengan masyarakat pada umumnya, adapun perbedaannya adalah sebagai berikut
No.
Perbedaan
KUHP Indonesia
KUHP Belanda
1
Penggunaan subjek hukum korporasi
Belum dicantumkan
Sudah dicantumkan sejak tahun 1976
2
Sistem denda
Di taruh pada setiap Pasal tindak Pidana
Dirumuskan menjadi beberapa kategori, dan pada pasalnya hny disebutkan “denda untuk kategori”
3
Hukuman pidana
Dicantumkan hukuman mati dalam pasal 10
Tidak lagi dipakai dan tidak dicantumkan, dalam hukuman tambahan dicantumkan hukuman penempatan kerja di Negara
4
Sesuai dengan kebutuhan masyarakat
Tidak sebab walaupun perbuatan pidana sekecil apapun itu akan tetap dijatuhi hukum pidana
Iya, sebab pada Pasal 9a dijelaskan bahwa delik kecil tidak perlu dijatuhi pidana atau tindakan
5
Sistem pemidanaan
Alternatif
Alternatif, alternatif kumulatif dan kumulatif

Hal ini membuktikan bahwa Indonesia belum mampu untuk menjadi negara yang independent, walaupun secara de-juro dan de-facto Indonesia sudah dapat dinyatakan sebagai negara yang merdeka. Ketidak mampuan Indonesia dalam mengikuti perkembangan-perkembangan hukum yang maju belum dapat dilihat, terbuti bahwa KUHP Indonesia masih menerapkan KUHP lama Belanda yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman dan tidak sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat.
            Adapun persamaan sistem hukum pidana Belanda dengan sistem hukum pidana Indonesia yaitu :
Belanda dan Indonesia sama-sama mengambil sistem hukum dari negara yang menjajahnya. Belanda mengambil sistem hukum pidana yaitu Code Penal produk dari Perancis. Sedangkan Indonesia mengambil sistem hukum Pidana dari Belanda yaitu Wetboek van Strafrecht (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).












BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Lahirnya sistem hukum pidana Indonesia tidak bisa dilepas dari keberadaan negara Belanda yang pernah menjajah Indonesia. Karena produk hukum pidana yang dipakai oleh Indonesia sampai saat ini merupakan produk hukum pidana dari Belanda.
Namun banyak sekali perbedaan antara sistem hukum pidana Belanda dengan sistem hukum pidana Indonesia. Belanda sudah melakukan beberapa kali perubahan  agar sesuai dengan kebutuhan masyarakat, namun Indonesia belum melakukan perubahan dalam sistem hukum pidana.

B.    Saran
Sebaiknya pemerintah Indonesia melakukan perubahan-perubahan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana agar lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia agar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ini dapat benar-benar berlaku dan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat.

KRITIK DALAM EKONOMI SYARIAH DAN KELEBIHANNYA


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Banyak kalangan orang yang menyatakan bahwa Ekonomi Islam sekarang sedang mengalami perkembangan yang sangat pesat dengan munculnya Lembaga Keuangan Syariah, khususnya Perbankan Syariah. Ini semakin diperkuat dengan tumbuhnya lembaga-lembaga pendidikan dan wacana Ekonomi Islam. Selain itu dengan meningkatnya kesadaran umat seiring dengan berkembangnya wacana tentang ekonomi Islam melalui bebagai saluran , juga semakin nampaknya perkembangan ekonomi Islam, terutama di Indonesia. Sejak tahun 80-an konsep Bank Syariah mulai bergulir sebelum keluar kerangka hukum formal sebagai landasan opersional perbankan Syariah. Dan dengan lahirnya UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah memberi angin segar bagi perkembangan perbankan Syariah, yang secara implisit telah membuka peluang kegiatan perbankan yang memiliki dasar operasional bagi hasil (Profit Sharing). Lalu muncullah Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri (BSM), Bank BNI Syariah, dan segera menyusul BRI Syariah, Bank Niaga Syariah dan Bank Mega Syariah. Selain itu juga muncul berbagai Lembaga Keuangan Syariah yang menggunakan label Syariah, sebagai contoh Asuransi Syariah, Pegadaian Syariah, dan lain sebagainnya. Dalam makalah ini, penulis akan membahas apa sajakah yang menjadi kritik dalam ekonomi syariah dalam perkembangannya saat ini serta kelebihan dari ekonomi syariah itu sendiri.


B.    Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yaitu :
1.     Apa pengertian dari Ekonomi syariah?
2.     Apakah tujuan dari Ekonomi Syariah?
3.     Apa sajakah prinsip-prinsip dari Ekonomi Syariah?
4.     Bagaimana kritik mengenai Ekonomi Syariah pada saat ini?
5.     Apa sajakah kelebihan dari Ekonomi Syariah?













BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian dari Ekonomi Syariah
Ekonomi syariah merupakan ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang dilhami oleh nilai-nilai Islam. Ekonomi syariah atau sistem ekonomi koperasi berbeda dari kapitalisme, sosialisme, maupun negara kesejahteraan (Welfare State). Berbeda dari kapitalisme karena Islam menentang eksploitasi oleh pemilik modal terhadap buruh yang miskin, dan melarang penumpukan kekayaan. Selain itu, ekonomi dalam kaca mata Islam merupakan tuntutan kehidupan sekaligus anjuran yang memiliki dimensi ibadah yang teraplikasi dalam etika dan moral.
Perbedaan sistem ekonomi syariah dengan sistem ekonomi konvensional. Krisis ekonomi yang sering terjadi terjadi adalah ulah sistem ekonomi konvensional, yang mengedepankan sistem bunga sebagai instrumen provitnya. Berbeda dengan apa yang ditawarkan sistem ekonomi syariah, dengan instrumen provitnya, yaitu sistem bagi hasil.
Sistem ekonomi syariah sangat berbeda dengan ekonomi kapitalis, sosialis maupun komunis. Ekonomi syariah bukan pula berada di tengah-tengah ketiga sistem ekonomi itu. Sangat bertolak belakang dengan kapitalis yang lebih bersifat individual, sosialis yang memberikan hampir semua tanggungjawab kepada warganya serta komunis yang ekstrem, ekonomi Islam menetapkan bentuk perdagangan serta perkhidmatan yang boleh dan tidak boleh di transaksikan. Ekonomi dalam Islam harus mampu memberikan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat, memberikan rasa adil, kebersamaan dan kekeluargaan serta mampu memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada setiap pelaku usaha.

B.    Tujuan dari Ekonomi Syariah
Pada dasarnya setiap manusia selalu menginginkan kehidupannya di dunia ini dalam keadaan bahagia, baik secara material maupun spiritual, individual maupun sosial. Namun dalam praktiknya kebahagiaan multi dimensi ini sangat sulit diraih karena keterbatasan kemampuan manusia dalam memahami sumber daya yang bisa digunakan. Di dalam sudut pandang Ekonomi Islam tujuan diterapkannya suatu aturan dalam ekonomi merupakan titik fokus utama, antara lain :
1.     Mendapatkan Ridha dari Allah SWT, karena setiap perbuatan yang kita lakukan tentunya harus dengan ridha Allah SWT. Begitu juga dalam kita melakukan kegiatan muamalah, karena muamalah adalah bagian integral dari Agama Islam.
2.     Terjaminnya kebutuhan setiap individu, terutama kebutuhan pokok. Ini menjadi tolak ukur utama apakah suatu perekonomian dikatakan berhasil atau tidak.
3.     Terciptanya Falah, yaitu kemuliaan dan kemenangan dalam hidup di dunia maupun di akhirat. Sehingga tidak hanya memandang aspek materil saja, namun justru lebih ditekankan pada aspek spiritual.
4.     Terwujudnya Mashlahah, yaitu segala bentuk keadaan, baik materil maupun nonmaterial yang mampu meningkatkan kedudukan manusia sebagai makhluk yang paling mulia.
5.     Keadilan dalam Peran serta Ekonomi dan Stabilitas Pertumbuhan Ekonomi.
Dengan demikian, kita bisa melihat apakah kegiatan perekonomian Islam mikro maupun makro sudah sesuai dengan yang ingin dicapai dalam palaksanaan perekonomian atau belum. Sudah sewajarnya kita sebagai orang muslim harus cermat dan teliti dalam menilai suatu realita yang kita hadapi saat ini.

C.    Prinsip-prinsip dari Ekonomi Syariah

1.     Riba
Riba secara bahasa bermakna ziyadah (tambahan). Sedangkan menurut istilah teknis riba berarti pengambilan dari harta pokok atau modal secara batil (Antonio, 1999). Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba. Namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam-meminjam secara batil atau bertentangan dengan prinsip muamalah dalam Islam.
Secara garis besar, riba dikelompokkan menjadi dua. Masing-masing adalah riba utang-piutang dan riba jual beli. Kelompok pertama terbagi lagi menjadi riba qardh dan riba jahiliyyah. Adapun kelompok kedua, riba jual beli terbagi lagi menjadi riba fadhl dan riba nasiah. Riba Qardh adalah suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang. Riba Jahiliyyah adalah utang yang dibayar lebih dari pokoknya karena si peminjam tidak mampu membayar utang pada waktu yang telah ditetapkan.
Riba Fadhl adalah pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi. Riba Nasiah adalah penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba Nasiah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau penambahan antara yang diserahkan saat ini dan yang diserahkan kemudian.
2.     Zakat
Zakat merupakan instrumen keadilan dan kesetaraan dalam Islam. Keadilan dan kesetaraan berarti setiap orang harus memiliki peluang yang sama dan tidak berarti bahwa mereka harus sama-sama miskin atau sama-sama kaya.
Negara Islam wajib menjamin terpenuhinya kebutuhan minimal warga negaranya, dalam bentuk sandang, pangan, papan, perawatan kesehatan dan pendidikan (QS. 58:11). Tujuan utamanya adalah untuk menjembatani perbedaan sosial dalam masyarakat dan agar kaum muslimin mampu menjalani kehidupan sosial dan material yang bermartabat dan memuaskan.
3.     Haram
Sesuatu yang diharamkan adalah sesuatu yang dilarang oleh Allah sesuai yang telah diajarkan dalam Alquran dan Hadist. Oleh karena itu, untuk memastikan bahwa praktek dan aktivitas keuangan syariah tidak bertentangan dengan hukum Islam, maka diharapkan lembaga keuangan syariah membentuk Dewan Penyelia Agama atau Dewan Syariah. Dewan ini beranggotakan  para ahli hukum Islam yang bertindak sebagai auditor dan penasihat syariah yang independen.
Aturan tegas mengenai investasi beretika harus dijalankan.  Oleh karena itu lembaga keuangan syariah tidak boleh mendanai aktivitas atau item yang haram, seperti perdagangan minuman keras, obat-obatan terlarang atau daging babi. Selain itu, lembaga keuangan syariah juga didorong untuk memprioritaskan produksi barang-barang primer untuk memenuhi kebutuhan umat manusia.

4.     Gharar dan Maysir
Alquran melarang secara tegas segala bentuk perjudian (QS. 5:90-91). Alquran menggunakan kata maysir untuk perjudian, berasal dari kata usr (kemudahan dan kesenangan): penjudi berusaha mengumpulkan harta tanpa kerja dan saat ini istilah itu diterapkan secara umum pada semua bentuk aktivitas judi.
Selain mengharamkan judi, Islam juga mengharamkan setiap aktivitas bisnis yang mengandung unsur judi. Hukum Islam menetapkan bahwa demi kepentingan transaksi yang adil dan etis, pengayaan diri melalui permainan judi harus dilarang.
Islam juga melarang transaksi ekonomi yang melibatkan unsur spekulasi, gharar (secara harfiah berarti resiko). Apabila riba dan maysir dilarang dalam Alquran, maka gharar dilarang dalam beberapa hadis. Menurut istilah bisnis, gharar artinya menjalankan suatu usaha tanpa pengetahuan yang jelas, atau menjalankan transaksi dengan resiko yang berlebihan. Jika unsur ketidakpastian tersebut tidak terlalu besar dan tidak terhindarkan, maka Islam membolehkannya (Algaoud dan Lewis, 2007).
5.     Takaful
Takaful adalah kata benda yang berasal dari kata kerja bahasa arab kafala, yang berarti memperhatikan kebutuhan seseorang. Kata ini mengacu pada suatu praktik ketika para partisipan suatu kelompok sepakat untuk bersama-sama menjamin diri mereka sendiri terhadap kerugian atau kerusakan. Jika ada anggota partisipan ditimpa malapetaka atau bencana, ia akan menerima manfaat finansial dari dana sebagaimana ditetapkan dalam kontrak asuransi untuk membantu menutup kerugian atau kerusakan tersebut (Algaoud dan Lewis, 2007).
Pada hakikatnya, konsep takaful didasarkan pada rasa solidaritas, responsibilitas, dan persaudaraan antara para anggota yang bersepakat untuk bersama-sama menanggung kerugian tertentu yang dibayarkan dari aset yang telah ditetapkan. Dengan demikian, praktek ini sesuai dengan apa yang disebut dalam konteks yang berbeda sebagai asuransi bersama (mutual insurance), karena para anggotanya menjadi penjamin (insurer) dan juga yang terjamin (insured).

Prinsip Bagi Hasil
Gagasan dasar sistem keuangan Islam secara sederhana didasarkan pada adanya bagi hasil (profit and loss sharing). Menurut hukum perniagaan Islam, kemitraan dan semua bentuk organisasi bisnis didirikan dengan tujuan pembagian keuntungan melalui partisipasi bersama.  Mudharabah dan musyarakah adalah dua model bagi hasil yang lebih disukai dalam hukum Islam.

Mudharabah (Investasi)
Mudharabah dipahami sebagai kontrak antara paling sedikit dua pihak, yaitu pemilik modal (shahib al mal atau rabb al mal) yang mempercayakan sejumlah dana kepada pihak lain, dalam hal ini pengusaha (mudharib) untuk menjalankan suatu aktivitas atau usaha. Dalam mudharabah, pemilik modal tidak mendapat peran dalam manajemen. Jadi mudharabah adalah kontrak bagi hasil yang akan memberi pemodal suatu bagian tertentu dari keuntungan/kerugian proyek yang mereka biayai. (Algaoud dan Lewis, 2007)



Musyarakah (Kemitraan)
Musyarakah adalah akad kerjasama antara dua belah pihak  atau lebih untuk suatu usaha tertentu yang masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
D.    Kritik dalam Ekonomi Syariah
Kritikan Pertama
Tidak dapat dipungkiri bahwa Bank Syariah sendiri merupakan usaha yang profit oriented. Oleh karena itu besarnya proporsi pembiayaan murabahah hingga sampai saat ini mencapai sekitar 60-70% jumlah pembiayaan yang disalurkan oleh Bank Syariah. Keadaan ini memang tidak hanya menjangkiti Bank Syariah di Indonesia tetapi juga di Malaysia dan negara-negara Timur Tengah. Di mana akad murabahah adalah akad jual beli dimana bank membeli kepada produsen kemudian menjual kepada nasabah dan bank mendapatkan margin. Ada beberapa alasan rasional yang dapat dijadikan penjelasan mengapa murabahah lebih dipilih, yaitu:

1. Murabahah adalah investasi jangka pendek dan mudah bila dibandingkan dengan musyarakah dan mudarabah.
2. Mark up/margin yang menjadi ciri khas murabahah dapat ditetapkan sedemikian rupa sehingga dapat dipastikan Islamic bank mendapat keuntungan yang sebanding dengan keuntungan yang diperoleh bank kovensional.
3. Keuntungan murabahah pasti sebab murabahah merupakan natural certainty contracs, tentunya ini berbeda dengan bisnis dengan system profit and loss sharing yang menganut natural uncertainty contracs.
4. Dalam murabahah Islamic bank sebagai pemberi pembiayaan tidak mencampuri manajemen bisnis sebab hubungan dalam murabahah adalah kreditur dengan debitur.
Selain itu juga kita sering menjumpai praktek di lapangan Bank Syariah, yang pertama penentuan margin sepenuhnya dilakukan oleh Bank Syariah. Penentuan secara sepihak ini tidak diperbolehkan karena dalam akadnya harus ada keterbukaan dari pihak bank. Yang kedua kebanyakan Bank Syariah tidak menyerahkan barang kepada nasabah tetapi memberi uang kepada nasabah sebagai wakil untuk membeli barang yang dibutuhkan. Hal ini tentu menyimpang dari aturan fiqh, karena ada dua transaksi dalam satu akad yaitu wakalah dan murabahah. Di samping itu, dengan transaksi yang demikian dapat saja nasabah melakukan penyelewengan terhadap dana yang diberikan oleh Bank Syariah.
Kritikan Kedua
Selain murabahah juga ada beberapa hal yang menjadi catatan, yaitu tentang akad Mudharabah. Pertama, Jika kita menengok praktek mudharabah di lapangan, maka akan jarang ditemui akad mudharabah murni karena akadnya adalah mudharabah yang dimodifikasi dengan musyarakah karena modalnya berasal dari dua pihak, Bank Syariah dan nasabah. Walaupun dalam hal manajemen, Bank Syariah tidak ikut campur. Hal ini terjadi karena Bank Syariah hanya mau memberikan pembiayaan kepada usaha yang telah berjalan selama kurun waktu tertentu. Kedua, pembagian return pembiayaan ternyata tidak berdasarkan sistem bagi hasil dan rugi (profit and loss sharing) tetapi menggunakan sistem bagi pendapatan (revenue sharing). Sistem ini dipilih karena Bank Syariah belum sepenuhnya berani berbagi risiko atau kerugian (loss /risk sharing) modal secara penuh. Terakhir, mengenai keuntungan yang harus diberikan nasabah ternyata telah dikira-kira (ditetapkan di muka) oleh Bank Syariah karena nasabah tidak mampu membuat laporan keuangan untuk menghitung laba atau rugi usahanya.
Kritikan ketiga
Banyak Bank Syariah yang belum secara menyeluruh dalam melakukan kegiatan perekonomian Islam, yaitu belum memiliki usaha nyata yang dapat menghasilkan keuntungan. Semua jenis produk perbankan yang mereka tawarkan hanyalah sebatas pembiayaan dan pendanaan. Dengan demikian, pada setiap unit usaha yang dikelola, peran perbankan hanya sebagai penyalur dana nasabah.
Sebagai contoh nyata dari produk perbankan yang ada ialah mudharabah. Operator perbankan tidak berperan sebagai pelaku usaha, akan tetapi sebagai penyalur dana nasabah. Hal ini mereka lakukan, karena takut dari berbagai resiko usaha, dan hanya ingin mendapatkan keuntungan. Bila demikian ini keadaannya, maka ini tidak sesuai dengan semangat dari Ekonomi Islam itu sendiri, yaitu mengacu pada sektor riil. Tetapi juga kadang ada semacam apology (pembelaan) dari Bank Syariah. Bank Syariah mengatakan bahwa adanya perbankan adalah untuk menghimpun dana dari masyarakat yang kelebihan dana dan menyalurkan dana tersebut kepada masyarakat yang membutuhkan dana. Tentu kalau kita cermati memang sekilas tidak ada masalah, akan tetapi kita juga harus ingat bahwa di dalam Ekonomi Islam kegiatan perekonomian di dasarkan pada sektor usaha yang nyata. Selain itu juga jika Perbankan Syariah belum mempunyai badan usaha yang nyata maka dapat menjadi indikasi bahwa Perbankan Syariah hanya mencari aman atau tidak mau mengambil resiko.

E.    Kelebihan dari Ekonomi Syariah

Ekonomi syariah dapat mengurangi kerentanan perekonomian akibat fenomena yang  disebut sebagai decoupling economy. Melalui sistem bagi hasil, ekonomi syariah membuat tidak adanya jarak antara sektor keuangan dan sektor riil. Dengan kata lain, perkembangan sektor keuangan merupakan cerminan kemajuan sektor riil. Ekonomi tidak mudah menjadi gelembung (bubble economy).
Kedua, sistem ekonomi syariah juga menghindarkan pembiayaan yang bersifat spekulatif atau eksploitasi pasar keuangan, lingkungan hidup, dan lingkungan sosial hanya demi keuntungan ekonomis pemilik modal.
Ketiga, ekonomi syariah juga memiliki kepedulian yang sangat tinggi terhadap sektor usaha mikro, kecil, dan menengah. Melalui pembiayaan kepada UMKM, yang dilandasi oleh semangat kebersamaan, maka Lembaga Keuangan Syariah telah ikut berperan nyata dalam menumbuhkembangkan usaha mikro, kecil, dan menengah.
Keempat, kehadiran dana-dana sosial yang khas dalam sistem ekonomi syariah, semisal zakat, infak, dan sadaqah, juga melengkapi sistem jaring pengaman sosial yang telah ada. Melalui hal ini, kaum miskin dan duafa dapat diberdayakan dan dimandirikan seiring dengan gerak pembangunan nasional.
Kelima, Lembaga Keuangan dan Pembiayaan Syariah dapat terlibat aktif dalam investasi syariah di sejumlah proyek percepatan dan perluasan infrastruktur dan sektor riil di seluruh tanah air.
Dengan berbagai kelebihan yang dimiliki, sistem ekonomi syariah jelas merupakan pilihan yang sangat menguntungkan. Tidak ada lagi alasan untuk berpaling. Apalagi dukungan pemerintah terhadap perkembangan ekonomi syariah sangat besar dan terarah. Berbagai payung kebijakan seperti Undang-Undang, peraturan bank Indonesia, dilengkapi oleh fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional akan terus memajukan ekonomi syariah menuju masyarakat sejahtera berlandaskan sistem ekonomi tuntunan ilahi.










BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari sedikit uraian diatas kita bisa melihat adanya sedikit pembelokan kegiatan Perekonomian Islam khususnya Perbankan Syariah. Di mana masih ada kegiatan yang belum mengarah pada tujuan Ekonomi Islam dalam pelayanan terhadap nasabah oleh Bank Syariah. Misalnya dalam akad musyarakah masih ada Bank Syariah yang menentukan margin secara sepihak terhadap nasabah, tentu ini tidak sesuai dengan tujuan Ekonomi Islam, yaitu dalam rangka mendapatkan ridha dari Allah SWT. Selain itu juga dalam pembiayaan mudharabah, di mana masih adanya praktek oleh Bank Syariah yang memilih calon nasabah (mudharib), tentunya ini tidak sejalan dengan tujuan Ekonomi Islam yaitu terjaminnya kebutuhan, terciptanya falah dan juga terwujudnya mashlahah. Oleh karena itu jika keadaan dari Perbankan Syariah memang seperti ini maka dapat di katakan jika kegiatan perekonomiannya belum secara sempurna mengacu pada tujuan Ekonomi Islam itu sendiri.

B.    Saran
Diharapkan dalam perkembangan kedepannya, kegiatan perekonomian Islam dapat berjalan sesuai dengan syariat Islam sehingga kegiatan perekonomian it dapat berjalan sempurna sesuai dengan tujuan Ekonomi Islam dan manfaatnya dapat dirasakan oleh masyarakat.

ENTREPRENEURSHIP (KEWIRAUSAHAAN)

Definisi Entrepreneur dan Entrepreneurship dalam berbagai literatur agak berbeda satu sama lainnya. Kata entrepreneur dan entrepreneurship ...