Selasa, 07 Agustus 2018

KASUS NARKOTIKA DITINJAU DARI HUKUM INTERNASIONAL


BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Narkoba (singkatan dari Narkotika, Psikotropika dan Bahan Adiktif berbahaya lainnya) adalah bahan/zat yang jika dimasukan dalam tubuh manusia, baik secara oral/diminum, dihirup, maupun disuntikan, dapat mengubah pikiran, suasana hati atau perasaan, dan perilaku seseorang
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan (Undang-Undang No. 22 tahun 1997 tentang Narkotika). Salah satunya adalah Ganja.
Pemerintah Indonesia memakai “pendekatan wajib” terhadap masalah narkoba, yaitu baik pengedar maupun pemakai dipenjarakan. Baik pengedaran narkoba maupun pemakaiannya dianggap sebagai tindak kejahatan. Ancaman sanksi hukum di Indonesia sebenarnya sudah sangat berat, bahkan bisa dihukum mati atau seumur hidup, tetapi belum sampai keputusan hakim yang begitu berat. Pertama, karena segala sudut perbuatannya dipertimbangkan dan kedua karena masih terjadi banyak korupsi di sistem keadilan Indonesia. Hukum tentang narkotika dan psikotropika kurang jelas, dan diperlukan disosialisasikan. Yang aneh, ganja yang sebenarnya jauh lebih aman daripada aspirin dan khasiatnya pengobatan banyak termasuk golongan satu narkotika.
Dalam kasus ini, Warga Negara Asing (WNA) yang merupakan warga negara Australia ditangkap membawa ganja seberat 4 Kg di Bandar udara Ngurah Rai, Bali, pada Oktober 2004.
Untuk selanjutnya penyusun akan membahas lebih lanjut kasus ini dalam tinjauan Hukum Internasional.

1.2. Perumusan Masalah
Adapun perumusan masalah sebagai berikut :
1.     Bagaimana kronologis kasus Schappelle Leigh Corby?
2.     Bagaimana pendapat para pihak lain yang tidak setuju dengan keputusan Presiden memberikan grasi kepada Schapelle Leigh Corby?
3.     Apa alasan Presiden memberikan grasi kepada Schapelle Leigh Corby?


BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Kronologis kasus Schapelle Leigh Corby
Schapelle Corby adalah warga Negara Australia. Ia ditangkap membawa ganja seberat 4 Kg di Bandar udara Ngurah Rai, Bali, pada Oktober 2004. Karena perbuatannya itu, Pengadilan Negeri Denpasar memberi hukuman kepada Corby 20 tahun penjara karena terbukti menyelundupkan ganja dari Australia. Corby kini mendekam di Lembaga Permasyarakatan Kerobokan Bali.
Setelah menjalani masa hukuman kurang lebih 7 tahun, Pemerintah Indonesia memberikan Grasi atau pengampunan hukuman kepada Schapelle Corby sebanyak lima tahun penjara. Pemberian grasi oleh presiden kepada terpidana Schapelle Leigh Corby warga negara australia yang divonis Mahkamah Agung dengan hukuman pidana 20 tahun penjara dan denda Rp 100 juta memberikan angin segar kepada Corby, karena hukuman pidana 20 tahun penjara yang dijalaninya terpangkas menjadi 15 tahun.

2.2. Pendapat para pihak lain yang tidak setuju dengan keputusan Presiden memberikan grasi kepada Schapelle Leigh Corby
Maraknya cercaan dan protes terhadap pemberian grasi oleh presiden kepada Schapelle Leigh Corby yang menjadi terpidana kasus narkotika menimbulkan polemik di kalangan masyarakat. Bahkan banyak pernyataan yang menyatakan bahwa tindakan presiden ini adalah tindakan yang salah mengigat pemberian tindak pidana narkoba termasuk kategori tindak pidana luar biasa (extraordinary crime).
Selain dianggap salah, tindakan ini justru inkonsisten dengan kebijakan dan program Menteri Hukum dan HAM dalam kebijakan pengetatan pemberian remisi terhadap terpidana narkotika, korupsi dan terorisme. Di kalangan para pakar hukumpun terjadi pro kontra terhadap pemberian grasi ini, Yusril Ihza Mahendra sebagai salah seorang pakar hukum tata negara menjadi koordinator tim kuasa hukum untuk menggugat keputusan presiden (keppres) pemberian grasi buat Schapelle Corby ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Sah-sah saja gugatan ini di ajukan ke PTUN dengan berbagai argumentasi hukumnya, namun kita harus melihat bahwa tindakan presiden dalam pemberian grasi ini bukanlah tindakan yang bertentangan dengan hukum dan konstitusi.
Keputusan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan grasi berupa pengurangan lima tahun hukuman penjara kepada terpidana kasus narkotika, Schapelle Corby, disesalkan. Pasalnya, tidak jelas timbal balik apa yang didapat Indonesia dari pemberian grasi itu.
Hal itu dikatakan Wakil ketua Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat, Nasir Djamil, melalui pesan singkat, Rabu (23/5/2012).
Nasir mengatakan, permasalahannya adalah Pemerintah Australia belum menjanjikan apa pun terkait kompensasi pemberian grasi itu. "Belum ada kejelasan kompensasi hukuman kok sudah diputuskan? Harusnya sudah ada komunikasi intensif dengan pihak Australia sehingga keinginan adanya timbal balik memang akan terjadi," kata dia.
Nasir mengaku khawatir jika Pemerintah Australia mengabaikan pemberian grasi terhadap Corby. Meski demikian, politisi Partai Keadilan Sejahtera itu tetap menghormati keputusan itu lantaran hak Presiden. "Harapan kita Pemerintah Australia dapat memenuhi harapan kita dengan membebaskan tahanan Indonesia. Ke depan, seharusnya pemerintah tidak begitu saja mengeluarkan grasi untuk terpidana warga negara asing tanpa ada kejelasan kompensasi dari asal negaranya," kata Nasir.
Terkait dengan pemberian grasi tersebut, sejatinya dapat diduga bahwa sebenarnya pemberian grasi kepada terpidana narkotika Schapelle Corby di Bali dinilai tidak terlepas dari tekanan diplomasi dari pemerintah Australia. Tindakan itu menggambarkan, bagaimana pemerintah Australia begitu perhatian terhadap warga negaranya.
Walaupun Corby jelas merupakan jaringan Narkotika internasional. Tapi pemerintah Australia sama sekali tidak malu melindungi warganegara. Hal tersebut menunjukkan bahwa perlindungan pemerintah Australia kepada Corby tidak melihat latar belakang persoalan kasus hukumnya. Hal ini sungguh berbeda dengan pemerintah Indonesia yang selalu terlebih dahulu melihat persoalan kasusnya dan malah terkadang membiarkannya.
Bentuk intervensi pihak asing (dalam hal ini Australia) menggambarkan bahwa Indonesia sama sekali lemah, bahkan tidak berdaulat secara hukum maupun politik. Apalagi jika dikaitkan dengan kebijakan pemerintah dalam hal penegakan hukum. Pemerintah padahal telah berkomitment bahwa perkara narkotika adalah termasuk sebagai salah satu perkara yang diketatkan untuk diberikan remisi. Dua perkara lainnya adalah soal teroris dan korupsi. Pemberian Grasi kepada Corby dalam konteks ini jelas menggambarkan bahwa Presiden telah melanggar komitmentnya sendiri terhadap masalah penegakan hukum. Bahkan diduga Presiden SBY telah melanggar hukum terkait pemberian Grasi atau pengampunan kepada Schapelle Leigh Corby.
Pemberian Grasi ini juga dianggap sebagai bukan langkah yang bijaksana dari seorang presiden dalam hal pemberantasan narkotika di Indonesia. Bahkan dalam sejarah di Indonesia, pemberian grasi ini merupakan kali pertama seorang presiden memberikan grasi untuk narapidana narkotika. Jika alasannya faktor kemanusiaan, padahal selama lima tahun Corby telah mendapatkan sejumlah remisi dari pemerintah Indonesia karena dianggap berkelakuan baik selama berada dalam lembaga permasyarakatan. Dalam konteks pertimbangan masalah kemanusiaan itulah yang tidak tepat atau tidak sesuai sebagai salah satu dasar pemberian grasi seperti yang dikemukakan oleh staf khusus Presiden.

2.3. Pendapat para pihak yang setuju dengan keputusan Presiden memberikan grasi kepada Schapelle Leigh Corby
                 Jakarta (ANTARA News) - Anggota Komisi III DPR RI Martin Hutabarat menilai pemberian grasi berupa potongan masa hukuman selama lima tahun penjara kepada terpidana kasus narkoba Schapelle Leigh Corby merupakan hal yang wajar.
"Pemberian grasi Corby itu wajar-wajar saja, itu termasuk hak prerogratif presiden. Kenapa kita tak memberi hati kita kepada seorang Corby," kata Martin Hutabarat pada diskusi Empat Pilar Negara di MPR Jakarta, Senin.
Pekan lalu Presiden Yudhoyono mengumumkan pemberian grasi kepada Corby. Terpidana 20 tahun penjara kasus penyelundupan empat kilogram ganja itu masuk penjara pada 2004. Kemudian mendapat remisi dengan jumlah total 25 bulan.

Setelah mendapat grasi lima tahun dari Presiden SBY, Corby paling lambat akan bebas pada 20 September 2012. Lebih lanjut Martin menjelaskan bahwa sampai saat ini ada 60 orang WNI yang diancam hukuman mati di berbagai negara dan mendapatkan grasi.
Menurut Martin dari 60 WNI tersebut ada yang sampai dibebaskan. "Negara lain mampu mengasihi dan mengampuni warga negara kita. Kenapa negara ini tidak mampu memberikan pengampunan kepada seorang Corby," kata Martin.

RIBUNJOGJA.COM, JAKARTA - Partai Demokrat mendukung upaya pemerintah dalam memberikan grasi 5 tahun kepada Schapelle Leigh Corby. Pemberian grasi tersebut diharapkan dapat memudahkan masalah-masalah WNI di luar negeri khususnya di Australia.
"Partai Demokrat mendukung pemberian grasi untuk Schapelle Corby. Grasi untuk Corby diharapkan akan memudahkan langkah Indonesia membela para WNI yang bermasalah di luar negeri," ujar Ketua DPP PD Didi Irawadi Syamsuddin seperti dikutip dari detikcom, Minggu (27/5/2012).
Didi menilai pemberian grasi untuk Corby adalah semata-mata karena kemanusiaan. Hal itu perlu untuk menunjukkan bahwa Indonesia konsisten peduli dengan isu kemanusiaan.
"Sebab selama ini pemerintah sering mendengungkan isu kemanusiaan saat membela WNI yang bermasalah di luar negeri. Selama ini kita kalau membela TKI yang bermasalah juga selalu alasan untuk kemanusiaan," ungkap anggota Komisi III DPR ini.

Didi yakin pemberian grasi untuk Corby merupakan langkah tepat. Pemberian grasi tersebut juga diyakini sudah melalui pertimbangan yang matang oleh presiden.
"Dan saat ditangkap Corby hanyalah remaja yang membawa narkoba jenis ringan. Yang dibawa bukan narkoba kelas berat sejenis heroin, cocain, sabu dan sebagainya. Saya memberi apresiasi positif terkait grasi 5 tahun kepada terpidana kasus narkotika, Schapelle Leigh Corby. Saya berharap, grasi itu juga kan memberikan pengaruh yang positif terhadap upaya penyelesaian kasus hukum WNI di luar negeri," jelasnya.
Menurut Didi, perlakuan baik terhadap warga negara lain bisa berpengaruh baik bagi WNI yang sedang terjerat kasus hukum di luar negeri. Keputusan pemberian tersebut adalah dalam konteks mengurangi masa hukuman bukan membebaskan Corby di Indonesia.
"Sejauh ini banyak upaya diplomasi yang dilakukan Indonesia sudah banyak membantu WNI di sejumlah negara dan berhasil membebaskan mereka dari jeratan hukum, bahkan bebas dari hukuman mati," kata Didi.
"Dengan perjuangan diplomasi yang pemerintah lakukan, Indonesia telah berhasil membebaskan dan mengurangi hukuman sejumlah besar WNI dan TKI sehingga selamat dari hukuman mati di negara lain. Termasuk ada 206 WNI yang terlibat pembunuhan, narkoba dan kejahatan berat lainnya," tutupnya. (detik.com)

2.4. Alasan Presiden memberikan grasi kepada Schapelle Leigh Corby
      Ketua Mahkamah Agung (MA) Hatta Ali menyebut tiga alasan pemberian grasi oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada Schapelle Leigh Corby, terpidana 20 tahun penjara dari Australia dalam perkara penyelundupan ganja 4 kilogram ke Bali pada 8 Oktober 2004 silam.
"Sebelum memberikan grasi itu, Presiden memang meminta pendapat MA, lalu kami memberikan tiga pendapat, ternyata pendapat itu menjadi dasar dari pertimbangan Presiden untuk grasi itu," katanya di aula Fakultas Hukum (FH) Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, hari ini.
Dalam dialog hukum bertajuk "Kajian Permasalahan Hukum Berkaitan Rasa Keadilan dan Penegakan Hukum" yang digelar Ikatan Alumni FH Unair Surabaya, orang nomor satu di MA yang juga alumni FH Unair angkatan 1972 itu menegaskan bahwa pertimbangan MA itu diberikan Ketua MA yang lama.
"Masalah grasi itu merupakan hak konstitusional Presiden sesuai dengan UUD 1945, tapi mekanismenya memang dilakukan dengan meminta pendapat MA dan Kemenkumham. Pendapat MA itu disampaikan pada tanggal 22 Juli 2011, sedangkan saya menjabat Ketua MA terhitung mulai 1 Maret 2012," katanya.
Menurut dia, tiga pendapat Ketua MA saat itu adalah Corby mengalami depresi berat sehingga perlu didampingi psikiater, Corby hingga kini masih merasa tidak bersalah karena narkotika yang ditemukan adalah disisipkan orang yang tak dikenal, dan polisi Australia tidak memiliki cacat Corby terkait dengan narkoba.
"Bahkan, polisi Australia memberikan jaminan bahwa Corby bukan pengguna maupun pengedar narkotika sebab dia merupakan mahasiswa kecantikan. Jadi, tiga pendapat itulah yang disampaikan MA kepada Presiden," kata mantan Ketua Muda Bidang Pengawasan MA itu.
Atas dasar pertimbangan itu pula, lanjut dia, Presiden akhirnya memberikan grasi bagi Corby dari 20 tahun menjadi 15 tahun. "Masalahnya, alasan kemanusiaan itu menjadi polemik dari kacamata politik," katanya.
Apalagi, pemberian grasi itu tidak sejalan dengan upaya pemerintah dalam membatasi pemberian remisi untuk narapidana korupsi dan narkotika sehingga polemik secara politik memanfaatkan "titik sentral" itu.
Pemberian Grasi Corby adalah Hak Prerogatif Presiden
Polemik menentang tindakan pemberian grasi oleh presiden kepada terpidana corby karena tindakan ini dianggap tindakan intervensi hukum kepada putusan pengadilan. Namun ketika dikaji lebih lagi bahwa pemberian grasi oleh presiden kepada terpidana Corby adalah hak konstitusional presiden (hak prerogatif) yang diatur secara eksplisit dalam UUD 1945 Pasal 4 ayat (1) menyebutkan “Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung”. Indonesia sebagai negara yang menganut sistem presidensil, hal pemberian grasi oleh presiden adalah hal yang lumrah karena selain posisi presiden sebagai kepala pemerintahan juga sebagai kepala negara.
Menurut Rod Hague dalam kaitannya terhadap pemberian grasi kepada terpidana Cordy, hal ini adalah konsekuensi dari negara yang menganut sistem presidensil, dimana karakteristiknya posisi presiden sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara. Mengenai prosedur yang yang harus dilewati melalui pertimbangan dari Mahkamah Agung adalah sifatnya fakultatif yang artinya pertimbangan ini bisa diterima dan bisa ditolak oleh presiden. Memang tindakan pemberian grasi oleh presiden kepada terpidan Corby menjadi sebuah kejutan (surprise) dalam masyarakat agar terlena dalam polemik tersebut.
Pemberian Grasi Corby adalah bentuk Diplomasi
Tak dapat dipungkiri lagi, siasat pemberian grasi oleh presiden terhadap corby yang dijulukin “‘ratu mariyuana” ini merupakan bentuk strategi diplomasi pemerintah. Bahkan dalam pernyataan mernteri hukum dan ham Amir Syamsudin di sebuah acara televisi secara terang- terangan menyatakan bahwa ini adalah bentuk langkah diplomasi presiden dalam melindungi warga negara indonesia yang tersandera oleh ancaman hukuman di luar negeri.
Menteri Hukum dan HAM menegaskan secara jelas bahwa dengan pemberian grasi ini adalah bagian yang diyakini mampu menyelamatkan nyawa warga negara indonesia yang terancam pidana mati di luar negeri. Seharusnya sebagai seorang negarawan tentu kita harus mendukung langkah progresif pemerintah dalam berdiplomasi tanpa melihat sisi kepentingan sebentar saja, tetapi lebih melihat dampak yang lebih jauh ke depan.
Permasalahan Warga Negara Indonesia yang bekerja di luar negeri adalah merupakan tanggung jawab penuh pemerintah dalam melindungi hak- hak konstitusional warga negara indonesia termasuk hak hidupnya. Dari data yang dihimpun oleh Direktur Informasi dan Media Kementerian Luar Negeri, menyebutkan sebanyak 213 warga negara Indonesia (WNI) terancam hukuman mati di luar negeri dan dari jumlah tersebut sebanyak 134 orang terlibat kasus narkoba. Dan diperparah lagi dengan maraknya berita- berita tentang pembunuhan Warga Negara Indonesia akibat terkena ancaman hukum mati, bahkan banyak desakan dari berbagai pihak menuntut pemerintah seakan-akan tidak becus dan tidak mampu memberikan perlindungan kepada warga negara indonesia yang terkena ancaman hukuman mati.
Namun setelah diberikan kebijakan pemerintah melalui pemberian grasi oleh presiden kepada Corby yang merupakan Warga Negara Australia sebagai bagian dari diplomasi pemerintah ternyata tidak lepas juga kecaman dan desakan oleh berbagai pihak. Tentu timbul pertanyaan, seakan- akan di negara ini semua kebijakan selalu dianggap salah karena sebentar- sebentar kebijakan dikecam dan dicacimaki. Marilah kita terlebih dahulu melihat kontribusi dan hasil kebijakan pemerintah ini daripada hanya terlena dalam perdebatan panjang.

BAB III
PENUTUP

3.1.Kesimpulan
Pemberian grasi kepada Schapelle Leigh Corby oleh Presiden merupakan bentuk langkah diplomasi presiden dalam melindungi warga negara indonesia yang tersandera oleh ancaman hukuman di luar negeri. Pemberian grasi ini adalah bagian yang diyakini mampu menyelamatkan nyawa warga negara indonesia yang terancam pidana mati di luar negeri. Seharusnya sebagai seorang negarawan tentu kita harus mendukung langkah progresif pemerintah dalam berdiplomasi tanpa melihat sisi kepentingan sebentar saja, tetapi lebih melihat dampak yang lebih jauh ke depan.
3.2. Saran
Sebaiknya Presiden dalam memberikan keputusan Grasi, Presiden dapat memberikan alasan-alasan yang jelas kepada para pihak baik pihak pemerintahan maupun masyarakat luas agar pihak lain dapat mengerti dan sependapat dengan keputusan Presiden tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ENTREPRENEURSHIP (KEWIRAUSAHAAN)

Definisi Entrepreneur dan Entrepreneurship dalam berbagai literatur agak berbeda satu sama lainnya. Kata entrepreneur dan entrepreneurship ...