BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Narkoba
(singkatan dari Narkotika, Psikotropika dan Bahan Adiktif berbahaya lainnya)
adalah bahan/zat yang jika dimasukan dalam tubuh manusia, baik secara
oral/diminum, dihirup, maupun disuntikan, dapat mengubah pikiran, suasana hati
atau perasaan, dan perilaku seseorang
Narkotika
adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik
sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan
kesadaran, hilangnya rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan
(Undang-Undang No. 22 tahun 1997 tentang Narkotika). Salah satunya adalah
Ganja.
Pemerintah
Indonesia memakai “pendekatan wajib” terhadap masalah narkoba, yaitu baik
pengedar maupun pemakai dipenjarakan. Baik pengedaran narkoba maupun
pemakaiannya dianggap sebagai tindak kejahatan. Ancaman sanksi hukum di
Indonesia sebenarnya sudah sangat berat, bahkan bisa dihukum mati atau seumur
hidup, tetapi belum sampai keputusan hakim yang begitu berat. Pertama, karena
segala sudut perbuatannya dipertimbangkan dan kedua karena masih terjadi banyak
korupsi di sistem keadilan Indonesia. Hukum tentang narkotika dan psikotropika
kurang jelas, dan diperlukan disosialisasikan. Yang aneh, ganja yang sebenarnya
jauh lebih aman daripada aspirin dan khasiatnya pengobatan banyak termasuk
golongan satu narkotika.
Dalam kasus ini, Warga Negara Asing (WNA)
yang merupakan warga negara Australia ditangkap membawa ganja seberat 4 Kg
di Bandar udara Ngurah Rai, Bali, pada Oktober 2004.
Untuk selanjutnya penyusun akan membahas
lebih lanjut kasus ini dalam tinjauan Hukum Internasional.
1.2. Perumusan Masalah
Adapun perumusan masalah sebagai berikut
:
1.     Bagaimana
kronologis kasus Schappelle Leigh Corby?
2.     Bagaimana
pendapat para pihak lain yang tidak setuju dengan keputusan Presiden memberikan
grasi kepada Schapelle Leigh Corby?
3.     Apa
alasan Presiden memberikan grasi kepada Schapelle Leigh Corby?
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1.
Kronologis kasus Schapelle Leigh Corby
Schapelle Corby adalah warga Negara Australia. Ia
ditangkap membawa ganja seberat 4 Kg di Bandar udara Ngurah Rai, Bali, pada
Oktober 2004. Karena perbuatannya itu, Pengadilan Negeri Denpasar memberi
hukuman kepada Corby 20 tahun penjara karena terbukti menyelundupkan ganja dari
Australia. Corby kini mendekam di Lembaga Permasyarakatan Kerobokan Bali. 
Setelah menjalani masa hukuman kurang lebih 7 tahun,
Pemerintah Indonesia memberikan Grasi atau pengampunan hukuman kepada Schapelle
Corby sebanyak lima tahun penjara. Pemberian grasi oleh
presiden kepada terpidana Schapelle Leigh Corby warga negara australia yang
divonis Mahkamah Agung dengan hukuman pidana 20 tahun penjara dan denda Rp 100
juta memberikan angin segar kepada Corby, karena hukuman pidana 20 tahun
penjara yang dijalaninya terpangkas menjadi 15 tahun.
2.2.
Pendapat para pihak lain yang tidak setuju dengan keputusan Presiden memberikan
grasi kepada Schapelle Leigh Corby
Maraknya cercaan dan protes terhadap pemberian grasi oleh
presiden kepada Schapelle Leigh Corby yang menjadi terpidana kasus narkotika
menimbulkan polemik di kalangan masyarakat. Bahkan banyak pernyataan yang
menyatakan bahwa tindakan presiden ini adalah tindakan yang salah mengigat
pemberian tindak pidana narkoba termasuk kategori tindak pidana luar biasa
(extraordinary crime).
Selain dianggap salah, tindakan ini justru inkonsisten
dengan kebijakan dan program Menteri Hukum dan HAM dalam kebijakan pengetatan
pemberian remisi terhadap terpidana narkotika, korupsi dan terorisme. Di
kalangan para pakar hukumpun terjadi pro kontra terhadap pemberian grasi ini,
Yusril Ihza Mahendra sebagai salah seorang pakar hukum tata negara menjadi
koordinator tim kuasa hukum untuk menggugat keputusan presiden (keppres)
pemberian grasi buat Schapelle Corby ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Sah-sah saja gugatan ini di ajukan ke PTUN dengan berbagai argumentasi
hukumnya, namun kita harus melihat bahwa tindakan presiden dalam pemberian
grasi ini bukanlah tindakan yang bertentangan dengan hukum dan konstitusi.
Keputusan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan
grasi berupa pengurangan lima tahun hukuman penjara kepada terpidana kasus
narkotika, Schapelle Corby, disesalkan. Pasalnya, tidak jelas timbal balik apa
yang didapat Indonesia dari pemberian grasi itu. 
Hal itu dikatakan Wakil ketua Komisi III Dewan Perwakilan
Rakyat, Nasir Djamil, melalui pesan singkat, Rabu (23/5/2012).
Nasir mengatakan, permasalahannya adalah Pemerintah
Australia belum menjanjikan apa pun terkait kompensasi pemberian grasi itu.
"Belum ada kejelasan kompensasi hukuman kok sudah diputuskan? Harusnya
sudah ada komunikasi intensif dengan pihak Australia sehingga keinginan adanya
timbal balik memang akan terjadi," kata dia. 
Nasir mengaku khawatir jika Pemerintah Australia mengabaikan
pemberian grasi terhadap Corby. Meski demikian, politisi Partai Keadilan
Sejahtera itu tetap menghormati keputusan itu lantaran hak Presiden.
"Harapan kita Pemerintah Australia dapat memenuhi harapan kita dengan
membebaskan tahanan Indonesia. Ke depan, seharusnya pemerintah tidak begitu
saja mengeluarkan grasi untuk terpidana warga negara asing tanpa ada kejelasan
kompensasi dari asal negaranya," kata Nasir.
Terkait dengan pemberian grasi tersebut, sejatinya dapat
diduga bahwa sebenarnya pemberian grasi kepada terpidana narkotika Schapelle
Corby di Bali dinilai tidak terlepas dari tekanan diplomasi dari pemerintah
Australia. Tindakan itu menggambarkan, bagaimana pemerintah Australia begitu
perhatian terhadap warga negaranya. 
Walaupun Corby jelas merupakan jaringan Narkotika
internasional. Tapi pemerintah Australia sama sekali tidak malu melindungi
warganegara. Hal tersebut menunjukkan bahwa perlindungan pemerintah Australia
kepada Corby tidak melihat latar belakang persoalan kasus hukumnya. Hal ini
sungguh berbeda dengan pemerintah Indonesia yang selalu terlebih dahulu melihat
persoalan kasusnya dan malah terkadang membiarkannya. 
Bentuk intervensi pihak asing (dalam hal ini Australia)
menggambarkan bahwa Indonesia sama sekali lemah, bahkan tidak berdaulat secara
hukum maupun politik. Apalagi jika dikaitkan dengan kebijakan pemerintah dalam
hal penegakan hukum. Pemerintah padahal telah berkomitment bahwa perkara
narkotika adalah termasuk sebagai salah satu perkara yang diketatkan untuk
diberikan remisi. Dua perkara lainnya adalah soal teroris dan
korupsi. Pemberian Grasi kepada Corby dalam konteks ini jelas
menggambarkan bahwa Presiden telah melanggar komitmentnya sendiri terhadap
masalah penegakan hukum. Bahkan diduga Presiden SBY telah melanggar hukum
terkait pemberian Grasi atau pengampunan kepada Schapelle Leigh Corby.
Pemberian Grasi ini juga dianggap sebagai bukan langkah
yang bijaksana dari seorang presiden dalam hal pemberantasan narkotika di
Indonesia. Bahkan dalam sejarah di Indonesia, pemberian grasi ini merupakan
kali pertama seorang presiden memberikan grasi untuk narapidana narkotika. Jika
alasannya faktor kemanusiaan, padahal selama lima tahun Corby telah mendapatkan
sejumlah remisi dari pemerintah Indonesia karena dianggap berkelakuan baik
selama berada dalam lembaga permasyarakatan. Dalam konteks pertimbangan masalah
kemanusiaan itulah yang tidak tepat atau tidak sesuai sebagai salah satu dasar
pemberian grasi seperti yang dikemukakan oleh staf khusus Presiden. 
2.3. Pendapat para pihak yang setuju dengan keputusan
Presiden memberikan grasi kepada Schapelle Leigh Corby
                 Jakarta (ANTARA News) - Anggota Komisi III DPR RI Martin
Hutabarat menilai pemberian grasi berupa potongan masa hukuman selama lima
tahun penjara kepada terpidana kasus narkoba Schapelle Leigh Corby merupakan
hal yang wajar.
"Pemberian grasi Corby itu
wajar-wajar saja, itu termasuk hak prerogratif presiden. Kenapa kita tak
memberi hati kita kepada seorang Corby," kata Martin Hutabarat pada
diskusi Empat Pilar Negara di MPR Jakarta, Senin.
Pekan lalu Presiden Yudhoyono
mengumumkan pemberian grasi kepada Corby. Terpidana 20 tahun penjara kasus
penyelundupan empat kilogram ganja itu masuk penjara pada 2004. Kemudian
mendapat remisi dengan jumlah total 25 bulan. 
Setelah mendapat grasi lima tahun dari Presiden SBY, Corby paling lambat akan bebas pada 20 September 2012. Lebih lanjut Martin menjelaskan bahwa sampai saat ini ada 60 orang WNI yang diancam hukuman mati di berbagai negara dan mendapatkan grasi.
Setelah mendapat grasi lima tahun dari Presiden SBY, Corby paling lambat akan bebas pada 20 September 2012. Lebih lanjut Martin menjelaskan bahwa sampai saat ini ada 60 orang WNI yang diancam hukuman mati di berbagai negara dan mendapatkan grasi.
Menurut Martin dari 60 WNI
tersebut ada yang sampai dibebaskan. "Negara lain mampu mengasihi dan mengampuni warga
negara kita. Kenapa negara ini tidak mampu memberikan pengampunan kepada
seorang Corby," kata Martin.
RIBUNJOGJA.COM, JAKARTA - Partai
Demokrat mendukung upaya pemerintah dalam memberikan grasi 5 tahun kepada
Schapelle Leigh Corby. Pemberian grasi tersebut diharapkan dapat memudahkan
masalah-masalah WNI di luar negeri khususnya di Australia.
"Partai Demokrat mendukung pemberian grasi untuk
Schapelle Corby. Grasi untuk Corby diharapkan akan memudahkan langkah Indonesia
membela para WNI yang bermasalah di luar negeri," ujar Ketua DPP PD Didi
Irawadi Syamsuddin seperti dikutip dari detikcom, Minggu (27/5/2012).
Didi menilai pemberian grasi untuk Corby adalah semata-mata
karena kemanusiaan. Hal itu perlu untuk menunjukkan bahwa Indonesia konsisten
peduli dengan isu kemanusiaan.
"Sebab selama ini pemerintah sering mendengungkan isu
kemanusiaan saat membela WNI yang bermasalah di luar negeri. Selama ini kita
kalau membela TKI yang bermasalah juga selalu alasan untuk kemanusiaan,"
ungkap anggota Komisi III DPR ini.
Didi yakin pemberian grasi untuk Corby merupakan langkah tepat. Pemberian grasi tersebut juga diyakini sudah melalui pertimbangan yang matang oleh presiden.
Didi yakin pemberian grasi untuk Corby merupakan langkah tepat. Pemberian grasi tersebut juga diyakini sudah melalui pertimbangan yang matang oleh presiden.
"Dan saat ditangkap Corby hanyalah remaja yang membawa
narkoba jenis ringan. Yang dibawa bukan narkoba kelas berat sejenis heroin,
cocain, sabu dan sebagainya. Saya memberi apresiasi positif terkait grasi 5
tahun kepada terpidana kasus narkotika, Schapelle Leigh Corby. Saya berharap,
grasi itu juga kan memberikan pengaruh yang positif terhadap upaya penyelesaian
kasus hukum WNI di luar negeri," jelasnya.
Menurut Didi, perlakuan baik terhadap warga negara lain
bisa berpengaruh baik bagi WNI yang sedang terjerat kasus hukum di luar negeri.
Keputusan pemberian tersebut adalah dalam konteks mengurangi masa hukuman bukan
membebaskan Corby di Indonesia.
"Sejauh ini banyak upaya diplomasi yang dilakukan
Indonesia sudah banyak membantu WNI di sejumlah negara dan berhasil membebaskan
mereka dari jeratan hukum, bahkan bebas dari hukuman mati," kata Didi.
"Dengan perjuangan diplomasi yang pemerintah lakukan,
Indonesia telah berhasil membebaskan dan mengurangi hukuman sejumlah besar WNI
dan TKI sehingga selamat dari hukuman mati di negara lain. Termasuk ada 206 WNI
yang terlibat pembunuhan, narkoba dan kejahatan berat lainnya," tutupnya.
(detik.com)
2.4. Alasan
Presiden memberikan grasi kepada Schapelle Leigh Corby
      Ketua
Mahkamah Agung (MA) Hatta Ali menyebut tiga alasan pemberian grasi oleh
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada Schapelle Leigh Corby, terpidana 20
tahun penjara dari Australia dalam perkara penyelundupan ganja 4 kilogram ke
Bali pada 8 Oktober 2004 silam.
"Sebelum memberikan grasi itu,
Presiden memang meminta pendapat MA, lalu kami memberikan tiga pendapat,
ternyata pendapat itu menjadi dasar dari pertimbangan Presiden untuk grasi
itu," katanya di aula Fakultas Hukum (FH) Universitas Airlangga (Unair)
Surabaya, hari ini.
Dalam dialog hukum bertajuk
"Kajian Permasalahan Hukum Berkaitan Rasa Keadilan dan Penegakan
Hukum" yang digelar Ikatan Alumni FH Unair Surabaya, orang nomor satu di
MA yang juga alumni FH Unair angkatan 1972 itu menegaskan bahwa pertimbangan MA
itu diberikan Ketua MA yang lama.
"Masalah grasi itu merupakan
hak konstitusional Presiden sesuai dengan UUD 1945, tapi mekanismenya memang
dilakukan dengan meminta pendapat MA dan Kemenkumham. Pendapat MA itu
disampaikan pada tanggal 22 Juli 2011, sedangkan saya menjabat Ketua MA
terhitung mulai 1 Maret 2012," katanya.
Menurut dia, tiga pendapat Ketua MA
saat itu adalah Corby mengalami depresi berat sehingga perlu didampingi
psikiater, Corby hingga kini masih merasa tidak bersalah karena narkotika yang
ditemukan adalah disisipkan orang yang tak dikenal, dan polisi Australia tidak
memiliki cacat Corby terkait dengan narkoba.
"Bahkan, polisi Australia
memberikan jaminan bahwa Corby bukan pengguna maupun pengedar narkotika sebab
dia merupakan mahasiswa kecantikan. Jadi, tiga pendapat itulah yang disampaikan
MA kepada Presiden," kata mantan Ketua Muda Bidang Pengawasan MA itu.
Atas dasar pertimbangan itu pula,
lanjut dia, Presiden akhirnya memberikan grasi bagi Corby dari 20 tahun menjadi
15 tahun. "Masalahnya, alasan kemanusiaan itu menjadi polemik dari
kacamata politik," katanya.
Apalagi, pemberian grasi itu tidak
sejalan dengan upaya pemerintah dalam membatasi pemberian remisi untuk
narapidana korupsi dan narkotika sehingga polemik secara politik memanfaatkan
"titik sentral" itu.
Pemberian Grasi Corby adalah Hak Prerogatif Presiden
Polemik menentang tindakan pemberian grasi oleh presiden
kepada terpidana corby karena tindakan ini dianggap tindakan intervensi hukum
kepada putusan pengadilan. Namun ketika dikaji lebih lagi bahwa pemberian grasi
oleh presiden kepada terpidana Corby adalah hak konstitusional presiden (hak
prerogatif) yang diatur secara eksplisit dalam UUD 1945 Pasal 4 ayat (1)
menyebutkan “Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan
pertimbangan Mahkamah Agung”. Indonesia sebagai negara yang menganut sistem
presidensil, hal pemberian grasi oleh presiden adalah hal yang lumrah karena
selain posisi presiden sebagai kepala pemerintahan juga sebagai kepala negara.
Menurut Rod Hague dalam kaitannya terhadap pemberian grasi
kepada terpidana Cordy, hal ini adalah konsekuensi dari negara yang menganut
sistem presidensil, dimana karakteristiknya posisi presiden sebagai kepala
pemerintahan dan kepala negara. Mengenai prosedur yang yang harus dilewati
melalui pertimbangan dari Mahkamah Agung adalah sifatnya fakultatif yang
artinya pertimbangan ini bisa diterima dan bisa ditolak oleh presiden. Memang
tindakan pemberian grasi oleh presiden kepada terpidan Corby menjadi sebuah
kejutan (surprise) dalam masyarakat agar terlena dalam polemik tersebut.
Pemberian Grasi Corby adalah bentuk Diplomasi
Tak dapat dipungkiri lagi, siasat pemberian grasi oleh
presiden terhadap corby yang dijulukin “‘ratu mariyuana” ini merupakan bentuk
strategi diplomasi pemerintah. Bahkan dalam pernyataan mernteri hukum dan ham
Amir Syamsudin di sebuah acara televisi secara terang- terangan menyatakan
bahwa ini adalah bentuk langkah diplomasi presiden dalam melindungi warga
negara indonesia yang tersandera oleh ancaman hukuman di luar negeri.
Menteri Hukum dan HAM menegaskan secara jelas bahwa dengan
pemberian grasi ini adalah bagian yang diyakini mampu menyelamatkan nyawa warga
negara indonesia yang terancam pidana mati di luar negeri. Seharusnya sebagai
seorang negarawan tentu kita harus mendukung langkah progresif pemerintah dalam
berdiplomasi tanpa melihat sisi kepentingan sebentar saja, tetapi lebih melihat
dampak yang lebih jauh ke depan.
Permasalahan Warga Negara Indonesia yang bekerja di luar
negeri adalah merupakan tanggung jawab penuh pemerintah dalam melindungi hak-
hak konstitusional warga negara indonesia termasuk hak hidupnya. Dari data yang
dihimpun oleh Direktur Informasi dan Media Kementerian Luar Negeri, menyebutkan
sebanyak 213 warga negara Indonesia (WNI) terancam hukuman mati di luar negeri
dan dari jumlah tersebut sebanyak 134 orang terlibat kasus narkoba. Dan
diperparah lagi dengan maraknya berita- berita tentang pembunuhan Warga Negara
Indonesia akibat terkena ancaman hukum mati, bahkan banyak desakan dari
berbagai pihak menuntut pemerintah seakan-akan tidak becus dan tidak mampu
memberikan perlindungan kepada warga negara indonesia yang terkena ancaman
hukuman mati.
Namun setelah diberikan kebijakan pemerintah melalui
pemberian grasi oleh presiden kepada Corby yang merupakan Warga Negara
Australia sebagai bagian dari diplomasi pemerintah ternyata tidak lepas juga
kecaman dan desakan oleh berbagai pihak. Tentu timbul pertanyaan, seakan- akan
di negara ini semua kebijakan selalu dianggap salah karena sebentar- sebentar
kebijakan dikecam dan dicacimaki. Marilah kita terlebih dahulu melihat
kontribusi dan hasil kebijakan pemerintah ini daripada hanya terlena dalam
perdebatan panjang.
BAB III
PENUTUP
3.1.Kesimpulan 
Pemberian grasi kepada Schapelle Leigh Corby oleh Presiden
merupakan bentuk langkah diplomasi presiden dalam melindungi warga negara
indonesia yang tersandera oleh ancaman hukuman di luar negeri. Pemberian grasi
ini adalah bagian yang diyakini mampu menyelamatkan nyawa warga negara
indonesia yang terancam pidana mati di luar negeri. Seharusnya sebagai seorang
negarawan tentu kita harus mendukung langkah progresif pemerintah dalam
berdiplomasi tanpa melihat sisi kepentingan sebentar saja, tetapi lebih melihat
dampak yang lebih jauh ke depan.
3.2. Saran
Sebaiknya Presiden dalam memberikan keputusan Grasi,
Presiden dapat memberikan alasan-alasan yang jelas kepada para pihak baik pihak
pemerintahan maupun masyarakat luas agar pihak lain dapat mengerti dan
sependapat dengan keputusan Presiden tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar