BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
            Otonomi daerah adalah suatu keadaan
yang memungkinkan daerah dapat mengaktualisasikan segala potensi terbaik yang
dimilikinya secara optimal. Dimana untuk mewujudkan keadaan tersebut,berlaku
proposisi bahwa pada dasarnya segala persoalan sepatutnya diserahkan kepada
daerah untuk mengidentifikasikan,merumuskan,dan memecahkannya,kecuali untuk
persoalan persoalan yang memang tidak mungkin diselesaikan oleh daerah itu
sendiri dalam perspektif keutuhan negara-bangsa.
            Otonomi daerah adalah hak wewenang
dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan
perundangt-undangan.
            Otonomi dalam arti sempit dapat
diartikan mandiri sedangkan dalam makna luas sebagai berdaya. Jadi otonomi
daerah berarti kemandirian suatu daerah dalam kaitan pembuatan dan pengambilan
keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendiri.
B.   
Proses
Otonomi Daerah
            Otonomi Daerah di Indonesia dimulai
dengan bergulirnya Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 2005 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah yang secara praktis efektif dilaksanakan sejak 1
Januari 2001. Otonomi Daerah menurut UU ini adalah kewenangan daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa
sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Tahap ini merupakan fase pertama dari pelaksanaan Otonomi Daerah
di Indonesia.
            Fase kedua Otonomi Daerah ditandai
dengan adanya reformasi dalam kebijakan keuangan negara melalui penetapan tiga
peraturan di bidang keuangan negara. Ketiga peraturan tersebut adalah UU Nomor
17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara, dan UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan
dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Telah lebih dari lima tahun reformasi
sistem pemerintahan tersebut berjalan dengan berbagai kendala yang mengiringinya
serta pro dan kontra. Berbagai usaha pun dilakukan untuk memperbaiki dan
menyempurnakan sistem tersebut. Salah satu upaya tersebut adalah dengan
melakukan amandemen UU Otonomi Daerah.
            Proses ini merupakan awal dari fase
ketiga dalam proses Otonomi Daerah di Indonesia. UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU
Nomor 25 Tahun 1999 masing-masing digantikan oleh UU Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Otonomi Daerah
menurut UU ini adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.   
Pengertian Otonomi Daerah
Otonomi
daerah di Indonesia adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Terdapat dua nilai dasar yang dikembangkan dalam UUD 1945 berkenaan
dengan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia, yaitu :
Nilai
Unitaris, yang diwujudkan dalam pandangan bahwa Indonesia tidak mempunyai
kesatuan pemerintahan lain di dalamnya yang bersifat negara ("Eenheidstaat"),
yang berarti kedaulatan yang melekat pada rakyat, bangsa dan negara Republik
Indonesia tidak akan terbagi di antara kesatuan-kesatuan pemerintahan.
Nilai dasar
Desentralisasi Teritorial, dari isi dan jiwa pasal 18 Undang-undang Dasar 1945
beserta penjelasannya sebagaimana tersebut di atas maka jelaslah bahwa
Pemerintah diwajibkan untuk melaksanakan politik desentralisasi dan dekonsentrasi
di bidang ketatanegaraan. 
Dikaitkan
dengan dua nilai dasar tersebut di atas, penyelenggaraan desentralisasi di
Indonesia berpusat pada pembentukan daerah-daerah otonom dan
penyerahan/pelimpahan sebagian kekuasaan dan kewenangan pemerintah pusat ke
pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus sebagian sebagian kekuasaan dan
kewenangan tersebut.
Adapun titik berat pelaksanaan
otonomi daerah adalah pada Daerah Tingkat II (Dati II) dengan beberapa dasar
pertimbangan, yaitu :
1.    
Dimensi Politik, Dati II dipandang
kurang mempunyai fanatisme kedaerahan sehingga risiko gerakan separatisme dan
peluang berkembangnya aspirasi federalis relatif minim;
2.    
Dimensi Administratif,
penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat relatif dapat
lebih efektif;
       Dati II adalah daerah "ujung tombak"
pelaksanaan pembangunan sehingga Dati II-lah yang lebih tahu kebutuhan dan
potensi rakyat di daerahnya.
Atas dasar
itulah, prinsip otonomi yang dianut,
yaitu :
Nyata,
otonomi secara nyata diperlukan sesuai dengan situasi dan kondisi obyektif di
daerah;
Bertanggung
jawab, pemberian otonomi diselaraskan/diupayakan untuk memperlancar pembangunan
di seluruh pelosok tanah air; dan
Dinamis,
pelaksanaan otonomi selalu menjadi sarana dan dorongan untuk lebih baik dan
maju
Beberapa aturan perundang-undangan
yang berhubungan dengan pelaksanaan Otonomi Daerah:
Undang-Undang
No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah
Undang-Undang
No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang
No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan
Daerah
Undang-Undang
No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang
No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintahan Daerah
Perpu No. 3
Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah
Undang-Undang
No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah
B.   
Tujuan Otonomi Daerah
Adapun
tujuan pemberian otonomi daerah adalah sebagai berikut :
1.     Peningkatan
pelayanan masyarakat yang semakin baik.
2.     Pengembangan
kehidupan demokrasi.
3.     Keadilan.
4.     Pemerataan.
5.     Pemeliharaan
hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta antar daerah dalam rangka
keutuhan NKRI.
6.     Mendorong
untuk memberdayakan masyarakat.
7.     Menumbuhkan
prakarsa dan kreatifitas, meningkatkan peran serta masyarakat, mengembangkan
peran dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
C.   
Visi Otonomi
Daerah
Politik:
Harus dipahami sebagai sebuah proses untuk membuka ruang bagi lahirnya Kepala
Pemerintahan Daerah yang dipilh secara demokratis, memungkinkan berlangsungnya
penyelenggaraan pemerintahan yang responsife;
Ekonomi:
Terbukanya peluang bagi pemerintah di daerah mengembangkan kebijakan regional
dan local untuk mengoptimalkan lpendayagunaan potensi;
Sosial:
Menciptakan kemampuan masyarakat untukmerespon dinamika kehidupan di sekitarnya.
D.   
Konsep Dasar
Otonomi Daerah
1.     Penyerahan
sebanyak mungkin kewenangan pemerintahan dalam hubungan domestik kepada daerah;
2.     Penguatan
peran DPRD sebagai representasi rakyat local dalam pemilihan dan penetapan
Kepala Daerah;
3.     Pembangunan
tradisi politik yang lebih sesuai dengan kultur berkualitas tinggi dngan
tingkat akseptabilitas yang tinggi pula;
4.     Peningkatan
efektifitas fungsi-fungsi pelayanan eksekutif;
5.     Peningkatan
efisiensi administrasi keungan daerah;
6.     Pengaturan
pembagian sumber-sumber pendapatan daerah;
7.     Pemberian
keleluasaan kepala daerah dan optimalisasi upaya pemberdayaan masyarakat.
E.   
Pembagian
Daerah
Wilayah
Negara kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi, serta
daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang masing-masing mempunyai
pemerintah daerah (Pasal 2 UU No.32/2004). Pemerintah provinsi yang berbatasan
dengan laut memiliki kewenangan wilayah laut sejauh 12 mil laut di ukur dari
garis pantai ke arah laut
lepas dan atau ke arah perairan kepulauan (Pasal 18 Ayat [4] UU No.32/2004).
Asas ini bertentangan dengan Deklarasi Pemerintah RI yang telah dikukuhkan
melalui UNCLOS, serta telah diratifikasi dengan UU No. 6/1999 tentang Perairan
Indonesia.
Sehubungan
dengan ini, ada yang patut diwaspadai bahwa semangat otonomi seharusnya tidak
menjurus pada semangat pembentukan daerah berdasarkan etnik atau subkultur.
Pada masa penjajahan Belanda, wilayah Indonesia terbagi berdasarkan subkultur
dengan dibentuknyadaerah keresidenan. Selanjutnya, wilayah-wilayah tersebut
terbagi habis menjadi provinsi, keresidenan, kabupaten/kota, kewedanaan, dan
kecamatan.
Globalisasi
yang menyebabakan adanya Global Paradox (Nasbit, 1987: 55) jangan sampai
menyemangati pemekaran wilayah atas dasar pendekatan kebudayaan sehingga
menimbulkan benturan budaya yang berakibat pecahnya Negara nasional (Hungton,
1966: 100). Oleh karena itu, perlu adanya perhatian khusus pada wilayah dilalui
Alur Laut Kepulauan-Riau, Kalimantan Barat, Bangka-Belitung, Banten, Sulawesi
Tengah, Sulawesi Barat, Pulau Lombok, serta Maluku dan Maluku Utara. Yang
beberapa saat lalu sehingga kini tetap bergejolak, baim yang berupa konflik
fisik maupun konflik non fisik (keinginan memisahkan diri dengan membentuk
provinsi baru).
F.      Syarat-syarat
pembentukan Otonomi Daerah
Syarat-syarat pembentukan daerah
sesuai dengan pasal 5, antara lain :       
·       
Administrasi
1) Untuk
provinsi meliputi persetujuan DPRD provinsi dan Gubernur.
2) Untuk kabupaten/kota
meliputi persetujuan DPD kabupaten/kota dan   Bupati/Walikota.
·       
Teknis, meliputi
faktor sebagai berikut :
1) Kemampuan ekonomi.
2) 
Potensi daerah.
3) 
Social budaya.
4) 
Social politik.
5) 
Kependudukan.
6) 
Luas daerah.
7) 
Pertahanan.
8) 
Keamanan.
9)  Faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah.
·       
Fisik, meliputi :
1) Paling
sedikit 5 kabupaten/kota untuk pembentukan provinsi.
2) Paling
sedikit 4 kecamatan untuk pembentukan kabupaten.
3) Paling
sedikit 4 kecamatan untuk pembentukan kota.
G. Dasar hukum
diselenggarakan otonomi daerah di Indonesia
Dasar hukum
otonomi daerah yaitu :
1.     UUD 1945
pasal 18
2.     UU No. 32
tahun 2004
3.     Peraturan
Pemerintah pengganti Undang-Undang No. 3 tahun 2003
H. Bentuk dan
Susunan Pemerintah Daerah
1.   Dewan perwakilan rakyat Daerah (DPRD)
DPRD
merupakan lembaga yang berperan sebagai badan legislative di daerah baik di
provinsi, kabupaten maupun kota. DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat di
dearah merupakan wahana untuk melaksanakan demokrasi Pancasila. Dan dipilih
melalui pemillu.
       2.  Pemerintahan Daerah
Pemerintah
daerah merupakan lembaga di daerah yang berperan sebagai badan eksekutif
daerah. Berdasarkan UUD 1945 pasal 18 ayat 4 pemerintah daerah yang dibentuk di
wilayah provinsi, kabupaten dan kota ini dipilih secara demokratis. Dlam
menjalankan kewenangannya, pemerintah daerah berhak menetpkan peraturan daerah
dan peraturan lainnya untuk melaksanakn otonomi dan tugas bantuan.
I.    Syarat-syarat
Pembentukan daerah Otonom
Wilayah
Negara kesatuan RI dapat dijadikan sebagai daerah otonom apabila daerah
tersebut memenuhi persyaratan, yaitu :
a.  Kemampuan ekonomi
Untuk
menjadi daerah otonom, suatu daerah harus mempunyai kemampuan ekonomi yang
memadai agar jalannya pemerintahn tidak tersendat-sendat dan pembangunan dapat
terlaksana dengan baik.
b. 
Luas daerah
Untuk
menjadikan daerah otonom diperlukan luas wilayah tertentu, sehingga keamanan
dan stabilitas serta pengawasan dari pemerintah daerah dapat dijalani dengan
baik.
c. 
Pertahanan dan Keamanan Nasional
Hankam suatu
daerah merupakan modal penting utama bagi jalannya sebuah pemerintahan.
d. 
Syarat-syarat lain
Artinya
yaitu segala sesuatu yang memungkinkan daerah untuk dapat melaksanakan
pembangunan dan pembinaan kestabilan politik serta persatuan dan keatuan bangsa
dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah yang nyata dan bertanggung jawab.
J.     Asas-asas Otonomi Daerah
·       
Asas Sentralisasi adalah
pemusatan seluruh penyelenggaraan pemerintah Negara dengan pemerintah pusat.
·       
Asas Desentralisasi adalah
segala pelimpahan kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.
·       
Asas Dekonsentrasi adalah
pelimpahan wewenang dari pemerintah gubernur sebagai wakil pemerintah dan
perangkat pusat di daerah.
·       
Asas Pembantuan adalah asas
yang menyatakan turut serta dalam pelaksanaan urusan pemerintah yang ditugaskan
kepada pemerintah daerah dengan kewajiban untuk mempertanggungjawabkan kepada
yang memberi tugas.
K.     Kewenangan yang dimiliki oleh daerah otonom
·       
Kewenangan Politik
Adanya
otonomi daerah, rakyat melalui DPRD memiliki kewenangan memilih kepala daerah
sendiri.
·       
Kewenangan Administrasi
Menyangkut
keuangan pemerintah pusat dengan memberikan uang kepada daerah untuk mengelola
karyawan dan organisasi.
L.  Permasalahan Pokok Otonomi Daerah , yaitu :
1. Pemahaman
terhadap konsep desentralisasi dan otonomi daerah yang belum mantap.
2.
Penyediaan aturan pelaksanaan otonomi daerah yang belum memadai dan penyesuaian
peraturan perundangan-undangan yang ada dengan UU 22/ 1999 masih sangat
terbatas. 
3.
Sosialisasi UU 22/1999 dan pedoman yang tersedia belum mendalam dan meluas.
4. Manajemen
penyelenggaraan otonomi daerah masih sangat lemah.
5. Pengaruh
perkembangan dinamika politik dan aspirasi masyarakat serta pengaruh
globalisasi yang tidak mudah masyarakat serta pengaruh globalisasi yang tidak
mudah dikelola.
6. Kondisi
SDM aparatur pemerintahan yang belum menunjang sepenuhnya pelaksanaan otonomi
daerah.
7. Belum
jelas dalam kebijakan pelaksanaan perwujudan konsepotonomi yang proporsional
kedalam pengaturan konsepotonomi yang proporsional ke dalampengaturan pembagian
dan pemanfaatan sumber daya nasional, serta perimbangan keuangan Pusat dan Daerah
sesuai prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan
keadilan, serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam kerangka NKRI.
M. 
Hubungan Otonomi Daerah dengan Demokratisasi
            Otonomi daerah tidak saja berarti
melaksanakan demokrasi, tetapi mendorong berkembangnya auto-aktivitet.
Auto-aktiviteit artinya bertindak sendiri, melaksanakan sendiri apa yang
dianggap penting bagi lingkunagn sendiri. Dengan berkembangnya Auto-aktiviteit
tercapailah apa yang dimaksud dengan demokrasi, Pemerintah yang dilaksanakan
oleh rakyat, untuk rakyat. Rakyat tidak saja menentukan nasibnya sendiri
melainkan juga memperbaiki nasibnya sendiri.
N. Konsekuensi Otonomi Daerah dengan Demokratisasi
a. otonomi
Daerah harus dipandang sebagai instrumen desentralisasi dalam ramgka
mempertahankan keutuhan serta keberagaman bangsa;
b. Otonomi
Daerah harus didefinisikan sebagai otonomi bagi rakyat daerah, bukan otonomi
pemerintahan daerah (Pemda), juga bukan otinom bagi “daerah”.
O.  
Prinsip-Prinsip Yang Harus Dipegang
Dalam Pemberian Otonomi Daerah :
1.    
Penyelenggaraan otonomi daerah
dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan serta
potensi dan keanekaragaman daerah
2.    
Pelaksanaan otonomi daerah
didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab
3.    
Pelaksanaan otonomi daerah yang luas
dan utuh diletakkan pada daerah kabupaten dan daerah kota sedang pada daerah
propinsi merupakan otonomi yang terbatas
4.    
Pelaksanaan otonomi daerah harus
sesuai dengan konstitusi negara
5.    
Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih
mengikatkan kemandirian daerah otonomi
6.    
Pelaksanaan otonomi daerah harus
lebih meningkatkan peran dan fungsi badan legislatif daerah
7.    
Pelaksanaan asas dekonsentrasi
diletakkan pada daerah propinsi dalam kedudukannya sebagai daerah administrasi
8.    
Pelaksanaan asas tugas pembantuan
dari pemerintah dan daerah ke desa disertai pembiayaan sarana dan prasarana
serta SDM dengan kewajiban melaporkan dan bertanggung jawab kepada yang
menugaskan
P.     Kendala/Ketimpangan-Ketimpangan
Yang Sering Terjadi Dalam Penerapan Kebijakan Otonomi Daerah :
1.    
High Cost Economic dalam bentuk
pungutan-pungutan yang membabi buta. Otonomi daerah dapat berubah sifat menjadi
“Anarkisme Financial”
2.    
High Cost Economic dalam bentuk KKN
3.    
Orientasi Pemda pada Cash Inflow,
bukan pendapatan
4.    
Pemda bisa menjadi “drakula” bagi
anak-anak mereka sendiri yaitu BUMD-BUMD yang berada dibawah naungannya.
Modusnya bisa jadi bukan melalui penjualan aset, melainkan melalui kebijakan
penguasa daerah yang sulit ditolak oleh jajaran pimpinan BUMD
5.    
Karena terfokus pada penerimaan dana
Pemda bisa melupakan kriteria pembuktian berkelanjutan
6.    
Munculnya hambatan bagi mobilitas
sumber daya
7.    
Potensi konflik antar daerah
menyangkut pembagian hasil pungutan
8.    
Bangkitnya egosentrisme
9.    
Karena derajat keberhasilan otonomi
lebih dilandaskan pada aspek-aspek finansial pemerintah daerah bisa melupakan
misi dan visi otonomi sebenarnya.
10.  Munculnya
bentuk hubungan kolutif antara eksekutif dan legislatif di daerah.
Q.  
Cara
Mengoptimalkan Pelaksanaan Otonomi Daerah
Pelaksanaan
Otonomi Daerah yang seharusnya membawa perubahan positif bagi daerah otonom
ternyata juga dapat membuat daerah otonom tersebut menjadi lebih terpuruk
akibat adanya berbagai penyelewengan yang dilakukan oleh aparat pelaksana
Otonomi Daerah tersebut.
Penerapan
Otonomi Daerah yang efektif memiliki beberapa syarat yang sekaligus merupakan
faktor yang sangat berpengaruh bagi keberhasilan Otonomi Daerah, yaitu: 
1. Manusia
selaku pelaksana dari Otonomi Daerah harus merupakan manusia yang berkualitas.
2. Keuangan
sebagai sumber biaya dalam pelaksanaan Otonomi Daerah harus tersedia dengan
cukup.
3.
Prasarana, sarana dan peralatan harus tersedia dengan cukup dan memadai.
4.
Organisasi dan manajemen harus baik. 
Dari semua
faktor tersebut di atas, “faktor manusia yang baik” adalah faktor yang paling
penting karena berfungsi sebagai subjek dimana faktor yang lain bergantung pada
faktor manusia ini. Oleh karena itu, sangat penting sekali untuk meningkatkan
kualitas Sumber Daya Manusia karena inilah kunci penentu dari berhasil tidaknya
pelaksanaan Otonomi Daerah.
Selain itu,
untuk mengoptimalkan pelaksanaan Otonomi Daerah harus ditempuh berbagai cara,
seperti:
1.
Memperketat mekanisme pengawasan kepada Kepala Daerah.
Hal ini
dilakukan agar Kepala Daerah yang mengepalai suatu daerah otonom akan terkontrol
tindakannya sehingga Kepala Daerah tersebut tidak akan bertindak
sewenang-wenang dalam melaksanakan tugasnya tersebut. Berbagai penyelewengan
yang dapat dilakukan oleh Kepala Daerah tersebut juga dapat dihindari dengan
diperketatnya mekanisme pengawasan ini.
2.
Memperketat pengawasan terhadap Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Pengawasan
terhadap Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dapat dilakukan oleh Badan Kehormatan
yang siap mengamati dan mengevaluasi sepak terjang anggota Dewan. 
3. Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah wajib menyusun kode etik untuk menjaga martabat dan
kehormatan dalam menjalankan tugasnya
Dengan
berbekal ketentuan yang baru tersebut, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
yang telah jelas-jelas terbukti melanggar larangan atau kode etik dapat
diganti.
R.         
Contoh kasus Otonomi Daerah
Polemik dan konflik antarkepala daerah sering menghantui sepanjang sembilan
tahun perjalanan Banten menjadi provinsi. Pemerintah Provinsi Banten belum bisa
menemukan formulasi yang tepat untuk membina hubungan baik dengan
kabupaten/kota.
Ketidakselarasan hubungan dengan pemerintah kabupaten/pemerintah kota bisa
dilihat dari frekuensi ketidakhadiran bupati/wali kota dalam kegiatan yang
dilaksanakan Pemprov Banten. Sulit ditemukan saat semua bupati/wali kota
berkumpul bersama Gubernur dalam suatu acara, sekalipun dalam rapat koordinasi.
Sebut saja Rapat Paripurna Istimewa Hari Ulang Tahun Ke-9 Provinsi Banten,
4 Oktober 2009. Tak semua bupati/wali kota hadir dalam acara di Gedung DPRD
Banten di Kecamatan Curug, Kota Serang, itu. Hanya Bupati Serang Taufik
Nuriman, Penjabat Wali Kota Tangerang Selatan M Shaleh, dan Wakil Bupati Lebak
Amir Hamzah yang hadir. Adapun Wali Kota Serang Bunyamin, Pelaksana Tugas
Bupati Pandeglang Erwan Kurtubi, Wali Kota Cilegon Tubagus Aat Syafaat, Bupati
Tangerang Ismet Iskandar, dan Wali Kota Tangerang Wahidin Halim tidak terlihat
hadir.
Ketidakhadiran itu menjadi biasa apabila hubungan antara Gubernur dan
bupati/wali kota benar-benar harmonis. Namun, sering kali bupati/wali kota tak
hadir dalam acara Pemprov karena mereka sedang berpolemik.
Salah satu contoh saat Menteri Dalam Negeri (saat itu) Mardiyanto melantik
M Shaleh menjadi Penjabat Wali Kota Tangerang Selatan, Januari 2010, Bupati
Tangerang tak hadir. Padahal, Tangerang Selatan adalah daerah pemekaran dari
Kabupaten Tangerang.
Bahkan, tujuh camat yang wilayahnya masuk Kota Tangerang Selatan pun tidak
mengikuti pelantikan itu. Bupati dan camat tidak hadir lantaran kecewa karena
usulan mereka agar Penjabat Wali Kota Tangerang Selatan berasal dari Kabupaten
Tangerang tidak diindahkan. Mereka menganggap Gubernur Ratu Atut Chosiyah
memaksakan kehendak menempatkan ”orang dekat” untuk memimpin Tangerang Selatan.
Polemik antara Gubernur dan bupati/wali kota selalu terjadi sepanjang tahun
sejak Provinsi Banten terbentuk. Hampir setiap tahun, saat penyusunan Rancangan
APBD Banten, polemik antarkepala daerah terjadi. Bupati/wali kota kerap
mengancam akan menolak program Pemprov karena usulan mereka tentang besaran
dana bantuan tunai atau block grant tidak terpenuhi.
Pertikaian itu terakhir kali terjadi pada September 2009 saat Pemprov
Banten menyusun Rancangan APBD tahun 2010. Bupati dan wali kota mengancam
memboikot semua kebijakan yang dikeluarkan Gubernur, lantaran Pemprov
merencanakan menurunkan nilai bantuan keuangan menjadi Rp 5 miliar per
kabupaten/kota.
Bupati/wali kota kesal karena besaran bantuan keuangan terus turun setiap
tahun. Sebelumnya selama 2003-2008, setiap kabupaten/kota menerima bantuan
keuangan Rp 20 miliar. Jumlah itu turun menjadi Rp 15 miliar pada 2009.
Semua kepala daerah yang tergabung dalam Forum Komunikasi Bupati/Wali Kota
Se-Banten itu bersepakat menolak bekerja sama dan memilih memboikot program
pembangunan yang menjadi kebijakan Pemprov. Kesepakatan pemboikotan itu diserahkan
secara resmi dalam bentuk surat kepada Gubernur.
Selain itu, bupati/wali kota pun terkadang tidak segan menunjukkan
perlawanan di depan publik. Bupati Serang Taufik Nuriman, misalnya, beberapa
kali menolak kebijakan Gubernur. Pertengahan tahun lalu, dia menolak bantuan
keuangan Rp 5 miliar dari Pemprov karena takut terjerat hukum. Pasalnya, dana
itu diberikan untuk pembangunan jalan lingkar Pasar Induk Rau yang pekerjaannya
dilakukan tanpa tender.
Sejak awal menjabat sebagai bupati pada 2005, Taufik dikenal sebagai salah
satu kepala daerah yang keras melawan Gubernur. Sikap itu baru melunak beberapa
bulan terakhir setelah ia dipasangkan dengan Ratu Tatu Chasanah, adik kandung
Atut, dalam pencalonan sebagai Bupati Serang periode 2010-2015.
Proyek terbengkalai
Lemahnya koordinasi itu juga terlihat dari banyaknya proyek pembangunan
pemerintah pusat ataupun Pemprov di kabupaten/kota yang terbengkalai. Selain
tidak tepat sasaran, proyek Pemprov juga sering kali tidak dibutuhkan
kabupaten/kota sehingga lebih terkesan memaksakan kehendak.
Salah satu contohnya adalah pembangunan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD)
Balaraja, Kabupaten Tangerang. RSUD di Desa Tobat, Kecamatan Balaraja, itu
dibangun Pemprov Banten melalui dana dekonsentrasi dari pemerintah pusat. Pada
2005-2007, pemerintah pusat mengucurkan dana hingga Rp 22,7 miliar untuk
membangun rumah sakit itu. Namun, hingga 2008, pembangunan belum selesai
dilakukan. Proyek itu sempat terbengkalai dan pembangunannya dihentikan.
Pembangunan RSUD sempat menimbulkan polemik. Saat itu, Bupati Tangerang
Ismet Iskandar melontarkan kritik lantaran Pemprov lebih mendahulukan
pembangunan gedung perkantoran, bukan ruang pelayanan. Pemkab Tangerang
mendesak untuk mengambil alih penanganan RSUD Balaraja.
Proyek yang juga terbengkalai adalah pembangunan pos kesehatan desa
(poskesdes). Pemprov membangun lebih dari 50 poskesdes di kabupaten/kota dengan
dana APBD Banten tahun 2007 sebesar Rp 14,9 miliar. Tak sedikit bangunan
poskesdes yang sampai saat ini terbengkalai, tidak dimanfaatkan.
Contoh lain adalah pembangunan RSUD Malingping, Kabupaten Lebak, dengan
dana APBD Banten tahun 2004. RSUD itu sudah beroperasi, tetapi masih mengalami
keterbatasan tenaga dan peralatan medis. Akibatnya, kini rumah sakit itu lebih
mirip puskesmas plus yang dilengkapi fasilitas rawat inap.
Beberapa proyek Pemprov di Pandeglang pun terbengkalai karena tak sesuai
dengan kebutuhan masyarakat. Salah satunya bantuan pompa air tanpa motor yang
dialokasikan dari APBD Banten tahun 2003 sebesar Rp 3,5 miliar. Pembangunan
Terminal Agro di Kecamatan Menes dan Cikedal pada 2002 terbengkalai pula. Meski
pembangunannya menghabiskan dana lebih dari Rp 2 miliar, pasar agro itu tak
pernah terealisasi.
Mantan anggota DPRD Banten asal Tangerang, Ansor, membenarkan, banyaknya
proyek yang terbengkalai disebabkan kurangnya koordinasi antara provinsi dan
kabupaten/kota. Ia mencontohkan pembangunan RSUD Balaraja yang terbengkalai
akibat tarik-menarik kepentingan antara Pemprov dan Pemkab Tangerang.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan
uraian diatas, dapat kita ambil kesimpulan bahwa pelaksanaan Otonomi Daerah di
Indonesia masih belum optimal. Walaupun di daerah Wonosobo dan Gorontalo
terdapat contoh nyata keberhasilan pelaksanaan Otonomi Daerah, tetapi kedua
daerah tersebut hanya merupakan contoh keberhasilan kecil dari pelaksanaan
Otonomi Daerah di Indonesia. Secara keseluruhan, pelaksanaan Otonomi Daerah di
tempat-tempat lain di seluruh pelosok Indonesia masih belum dapat berjalan
dengan optimal. 
Belum
optimalnya pelaksanaan Otonomi Daerah antara lain disebabkan karena adanya
berbagai macam penyelewengan yang dilakukan oleh berbagai pihak yang terlibat
dalam pelaksanaan Otonomi Daerah di daera-daerah otonom.
Banyak hal
yang dapat dilakukan untuk mengoptimalkan pelaksanaan Otonomi Daerah, tetapi
hal yang paling penting yang harus dilakukan untuk meningkatkan pelaksanaan
Otonomi Daerah itu adalah dengan meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia
sebagai pelaksana dari Otonomi Daerah tersebut. Sumber Daya Manusia yang berkualitas
merupakan subjek dimana faktor-faktor lain yang ikut menentukan keberhasilan
dalam pelaksanaan Otonomi Daerah ini bergantung. Oleh karena itu, sangat
penting sekali untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia karena inilah
kunci penentu dari berhasil tidaknya pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia. 
B. Saran 
Dari
kesimpulan yang dijabarkan diatas, maka dapat diberikan saran antara lain:
1.
Pemerintahan daerah dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas
penyelenggaraan otonomi daerah, perlu memperhatikan hubungan antarsusunan
pemerintahan dan antarpemerintah daerah, potensi dan keanekaragaman daerah. 
2. Konsep
otonomi luas, nyata, dan bertanggungjawab tetap dijadikan acuan dengan
meletakkan pelaksanaan otonomi pada tingkat daerah yang paling dekat dengan
masyarakat.
3.
Keterlibatan masyarakat dalam pengawasan terhadap pemerintah daerah juga perlu
diupayakan. Kesempatan yang seluas-luasnya perlu diberikan kepada masyarakat
untuk berpartisipasi dan mengambil peran. Masyarakat dapat memberikan kritik
dan koreksi membangun atas kebijakan dan tindakan aparat pemerintah yang
merugikan masyarakat dalam pelaksanaan Otonomi Daerah. Karena pada dasarnya
Otonomi Daerah ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Oleh
karena itu, masyarakat juga perlu bertindak aktif dan berperan serta dalam
rangka menyukseskan pelaksanaan Otonomi Daerah. 
4.
Pihak-pihak yang berkepentingan dalam pelaksanaan Otonomi Daerah sebaiknya
membuang jauh-jauh egonya untuk kepentingan pribadi ataupun kepentingan kelompoknya
dan lebih mengedepankan kepentingan masyarakat. Pihak-pihak tersebut seharusnya
tidak bertindak egois dan melaksanakan fungsi serta kewajibannya dengan baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar