Selasa, 07 Agustus 2018

OTONOMI DAERAH


BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
           
            Otonomi daerah adalah suatu keadaan yang memungkinkan daerah dapat mengaktualisasikan segala potensi terbaik yang dimilikinya secara optimal. Dimana untuk mewujudkan keadaan tersebut,berlaku proposisi bahwa pada dasarnya segala persoalan sepatutnya diserahkan kepada daerah untuk mengidentifikasikan,merumuskan,dan memecahkannya,kecuali untuk persoalan persoalan yang memang tidak mungkin diselesaikan oleh daerah itu sendiri dalam perspektif keutuhan negara-bangsa.
            Otonomi daerah adalah hak wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundangt-undangan.
            Otonomi dalam arti sempit dapat diartikan mandiri sedangkan dalam makna luas sebagai berdaya. Jadi otonomi daerah berarti kemandirian suatu daerah dalam kaitan pembuatan dan pengambilan keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendiri.

B.    Proses Otonomi Daerah
            Otonomi Daerah di Indonesia dimulai dengan bergulirnya Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 2005 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang secara praktis efektif dilaksanakan sejak 1 Januari 2001. Otonomi Daerah menurut UU ini adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Tahap ini merupakan fase pertama dari pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia.
            Fase kedua Otonomi Daerah ditandai dengan adanya reformasi dalam kebijakan keuangan negara melalui penetapan tiga peraturan di bidang keuangan negara. Ketiga peraturan tersebut adalah UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Telah lebih dari lima tahun reformasi sistem pemerintahan tersebut berjalan dengan berbagai kendala yang mengiringinya serta pro dan kontra. Berbagai usaha pun dilakukan untuk memperbaiki dan menyempurnakan sistem tersebut. Salah satu upaya tersebut adalah dengan melakukan amandemen UU Otonomi Daerah.
            Proses ini merupakan awal dari fase ketiga dalam proses Otonomi Daerah di Indonesia. UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 25 Tahun 1999 masing-masing digantikan oleh UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Otonomi Daerah menurut UU ini adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.







BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Otonomi Daerah
Otonomi daerah di Indonesia adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Terdapat dua nilai dasar yang dikembangkan dalam UUD 1945 berkenaan dengan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia, yaitu :
Nilai Unitaris, yang diwujudkan dalam pandangan bahwa Indonesia tidak mempunyai kesatuan pemerintahan lain di dalamnya yang bersifat negara ("Eenheidstaat"), yang berarti kedaulatan yang melekat pada rakyat, bangsa dan negara Republik Indonesia tidak akan terbagi di antara kesatuan-kesatuan pemerintahan.
Nilai dasar Desentralisasi Teritorial, dari isi dan jiwa pasal 18 Undang-undang Dasar 1945 beserta penjelasannya sebagaimana tersebut di atas maka jelaslah bahwa Pemerintah diwajibkan untuk melaksanakan politik desentralisasi dan dekonsentrasi di bidang ketatanegaraan.
Dikaitkan dengan dua nilai dasar tersebut di atas, penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia berpusat pada pembentukan daerah-daerah otonom dan penyerahan/pelimpahan sebagian kekuasaan dan kewenangan pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus sebagian sebagian kekuasaan dan kewenangan tersebut.
Adapun titik berat pelaksanaan otonomi daerah adalah pada Daerah Tingkat II (Dati II) dengan beberapa dasar pertimbangan, yaitu :
1.     Dimensi Politik, Dati II dipandang kurang mempunyai fanatisme kedaerahan sehingga risiko gerakan separatisme dan peluang berkembangnya aspirasi federalis relatif minim;
2.     Dimensi Administratif, penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat relatif dapat lebih efektif;
       Dati II adalah daerah "ujung tombak" pelaksanaan pembangunan sehingga Dati II-lah yang lebih tahu kebutuhan dan potensi rakyat di daerahnya.
Atas dasar itulah, prinsip otonomi yang dianut, yaitu :
Nyata, otonomi secara nyata diperlukan sesuai dengan situasi dan kondisi obyektif di daerah;
Bertanggung jawab, pemberian otonomi diselaraskan/diupayakan untuk memperlancar pembangunan di seluruh pelosok tanah air; dan
Dinamis, pelaksanaan otonomi selalu menjadi sarana dan dorongan untuk lebih baik dan maju
Beberapa aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pelaksanaan Otonomi Daerah:
Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah
Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
Perpu No. 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
                                                      
B.    Tujuan Otonomi Daerah
Adapun tujuan pemberian otonomi daerah adalah sebagai berikut :
1.     Peningkatan pelayanan masyarakat yang semakin baik.
2.     Pengembangan kehidupan demokrasi.
3.     Keadilan.
4.     Pemerataan.
5.     Pemeliharaan hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta antar daerah dalam rangka keutuhan NKRI.
6.     Mendorong untuk memberdayakan masyarakat.
7.     Menumbuhkan prakarsa dan kreatifitas, meningkatkan peran serta masyarakat, mengembangkan peran dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

C.    Visi Otonomi Daerah
Politik: Harus dipahami sebagai sebuah proses untuk membuka ruang bagi lahirnya Kepala Pemerintahan Daerah yang dipilh secara demokratis, memungkinkan berlangsungnya penyelenggaraan pemerintahan yang responsife;
Ekonomi: Terbukanya peluang bagi pemerintah di daerah mengembangkan kebijakan regional dan local untuk mengoptimalkan lpendayagunaan potensi;
Sosial: Menciptakan kemampuan masyarakat untukmerespon dinamika kehidupan di sekitarnya.
D.    Konsep Dasar Otonomi Daerah
1.     Penyerahan sebanyak mungkin kewenangan pemerintahan dalam hubungan domestik kepada daerah;
2.     Penguatan peran DPRD sebagai representasi rakyat local dalam pemilihan dan penetapan Kepala Daerah;
3.     Pembangunan tradisi politik yang lebih sesuai dengan kultur berkualitas tinggi dngan tingkat akseptabilitas yang tinggi pula;
4.     Peningkatan efektifitas fungsi-fungsi pelayanan eksekutif;
5.     Peningkatan efisiensi administrasi keungan daerah;
6.     Pengaturan pembagian sumber-sumber pendapatan daerah;
7.     Pemberian keleluasaan kepala daerah dan optimalisasi upaya pemberdayaan masyarakat.


E.    Pembagian Daerah
Wilayah Negara kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi, serta daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang masing-masing mempunyai pemerintah daerah (Pasal 2 UU No.32/2004). Pemerintah provinsi yang berbatasan dengan laut memiliki kewenangan wilayah laut sejauh 12 mil laut di ukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan atau ke arah perairan kepulauan (Pasal 18 Ayat [4] UU No.32/2004). Asas ini bertentangan dengan Deklarasi Pemerintah RI yang telah dikukuhkan melalui UNCLOS, serta telah diratifikasi dengan UU No. 6/1999 tentang Perairan Indonesia.
Sehubungan dengan ini, ada yang patut diwaspadai bahwa semangat otonomi seharusnya tidak menjurus pada semangat pembentukan daerah berdasarkan etnik atau subkultur. Pada masa penjajahan Belanda, wilayah Indonesia terbagi berdasarkan subkultur dengan dibentuknyadaerah keresidenan. Selanjutnya, wilayah-wilayah tersebut terbagi habis menjadi provinsi, keresidenan, kabupaten/kota, kewedanaan, dan kecamatan.
Globalisasi yang menyebabakan adanya Global Paradox (Nasbit, 1987: 55) jangan sampai menyemangati pemekaran wilayah atas dasar pendekatan kebudayaan sehingga menimbulkan benturan budaya yang berakibat pecahnya Negara nasional (Hungton, 1966: 100). Oleh karena itu, perlu adanya perhatian khusus pada wilayah dilalui Alur Laut Kepulauan-Riau, Kalimantan Barat, Bangka-Belitung, Banten, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Pulau Lombok, serta Maluku dan Maluku Utara. Yang beberapa saat lalu sehingga kini tetap bergejolak, baim yang berupa konflik fisik maupun konflik non fisik (keinginan memisahkan diri dengan membentuk provinsi baru).
F.      Syarat-syarat pembentukan Otonomi Daerah
Syarat-syarat pembentukan daerah sesuai dengan pasal 5, antara lain :      
·        Administrasi
1) Untuk provinsi meliputi persetujuan DPRD provinsi dan Gubernur.
2) Untuk kabupaten/kota meliputi persetujuan DPD kabupaten/kota dan   Bupati/Walikota.
·        Teknis, meliputi faktor sebagai berikut :
1) Kemampuan ekonomi.
2)  Potensi daerah.
3)  Social budaya.
4)  Social politik.
5)  Kependudukan.
6)  Luas daerah.
7)  Pertahanan.
8)  Keamanan.
9)  Faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah.
·        Fisik, meliputi :
1) Paling sedikit 5 kabupaten/kota untuk pembentukan provinsi.
2) Paling sedikit 4 kecamatan untuk pembentukan kabupaten.
3) Paling sedikit 4 kecamatan untuk pembentukan kota.
G. Dasar hukum diselenggarakan otonomi daerah di Indonesia
Dasar hukum otonomi daerah yaitu :
1.     UUD 1945 pasal 18
2.     UU No. 32 tahun 2004
3.     Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang No. 3 tahun 2003
H. Bentuk dan Susunan Pemerintah Daerah
1.   Dewan perwakilan rakyat Daerah (DPRD)
DPRD merupakan lembaga yang berperan sebagai badan legislative di daerah baik di provinsi, kabupaten maupun kota. DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat di dearah merupakan wahana untuk melaksanakan demokrasi Pancasila. Dan dipilih melalui pemillu.
       2.  Pemerintahan Daerah
Pemerintah daerah merupakan lembaga di daerah yang berperan sebagai badan eksekutif daerah. Berdasarkan UUD 1945 pasal 18 ayat 4 pemerintah daerah yang dibentuk di wilayah provinsi, kabupaten dan kota ini dipilih secara demokratis. Dlam menjalankan kewenangannya, pemerintah daerah berhak menetpkan peraturan daerah dan peraturan lainnya untuk melaksanakn otonomi dan tugas bantuan.


I.    Syarat-syarat Pembentukan daerah Otonom
Wilayah Negara kesatuan RI dapat dijadikan sebagai daerah otonom apabila daerah tersebut memenuhi persyaratan, yaitu :
a.  Kemampuan ekonomi
Untuk menjadi daerah otonom, suatu daerah harus mempunyai kemampuan ekonomi yang memadai agar jalannya pemerintahn tidak tersendat-sendat dan pembangunan dapat terlaksana dengan baik.
b.  Luas daerah
Untuk menjadikan daerah otonom diperlukan luas wilayah tertentu, sehingga keamanan dan stabilitas serta pengawasan dari pemerintah daerah dapat dijalani dengan baik.
c.  Pertahanan dan Keamanan Nasional
Hankam suatu daerah merupakan modal penting utama bagi jalannya sebuah pemerintahan.
d.  Syarat-syarat lain
Artinya yaitu segala sesuatu yang memungkinkan daerah untuk dapat melaksanakan pembangunan dan pembinaan kestabilan politik serta persatuan dan keatuan bangsa dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah yang nyata dan bertanggung jawab.

J.     Asas-asas Otonomi Daerah
·        Asas Sentralisasi adalah pemusatan seluruh penyelenggaraan pemerintah Negara dengan pemerintah pusat.
·        Asas Desentralisasi adalah segala pelimpahan kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.
·        Asas Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari pemerintah gubernur sebagai wakil pemerintah dan perangkat pusat di daerah.
·        Asas Pembantuan adalah asas yang menyatakan turut serta dalam pelaksanaan urusan pemerintah yang ditugaskan kepada pemerintah daerah dengan kewajiban untuk mempertanggungjawabkan kepada yang memberi tugas.

K.     Kewenangan yang dimiliki oleh daerah otonom
·        Kewenangan Politik
Adanya otonomi daerah, rakyat melalui DPRD memiliki kewenangan memilih kepala daerah sendiri.
·        Kewenangan Administrasi
Menyangkut keuangan pemerintah pusat dengan memberikan uang kepada daerah untuk mengelola karyawan dan organisasi.



L.  Permasalahan Pokok Otonomi Daerah , yaitu :
1. Pemahaman terhadap konsep desentralisasi dan otonomi daerah yang belum mantap.
2. Penyediaan aturan pelaksanaan otonomi daerah yang belum memadai dan penyesuaian peraturan perundangan-undangan yang ada dengan UU 22/ 1999 masih sangat terbatas.
3. Sosialisasi UU 22/1999 dan pedoman yang tersedia belum mendalam dan meluas.
4. Manajemen penyelenggaraan otonomi daerah masih sangat lemah.
5. Pengaruh perkembangan dinamika politik dan aspirasi masyarakat serta pengaruh globalisasi yang tidak mudah masyarakat serta pengaruh globalisasi yang tidak mudah dikelola.
6. Kondisi SDM aparatur pemerintahan yang belum menunjang sepenuhnya pelaksanaan otonomi daerah.
7. Belum jelas dalam kebijakan pelaksanaan perwujudan konsepotonomi yang proporsional kedalam pengaturan konsepotonomi yang proporsional ke dalampengaturan pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional, serta perimbangan keuangan Pusat dan Daerah sesuai prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam kerangka NKRI.


M.  Hubungan Otonomi Daerah dengan Demokratisasi
            Otonomi daerah tidak saja berarti melaksanakan demokrasi, tetapi mendorong berkembangnya auto-aktivitet. Auto-aktiviteit artinya bertindak sendiri, melaksanakan sendiri apa yang dianggap penting bagi lingkunagn sendiri. Dengan berkembangnya Auto-aktiviteit tercapailah apa yang dimaksud dengan demokrasi, Pemerintah yang dilaksanakan oleh rakyat, untuk rakyat. Rakyat tidak saja menentukan nasibnya sendiri melainkan juga memperbaiki nasibnya sendiri.
N. Konsekuensi Otonomi Daerah dengan Demokratisasi
a. otonomi Daerah harus dipandang sebagai instrumen desentralisasi dalam ramgka mempertahankan keutuhan serta keberagaman bangsa;
b. Otonomi Daerah harus didefinisikan sebagai otonomi bagi rakyat daerah, bukan otonomi pemerintahan daerah (Pemda), juga bukan otinom bagi “daerah”.

O.   Prinsip-Prinsip Yang Harus Dipegang Dalam Pemberian Otonomi Daerah :
1.     Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan serta potensi dan keanekaragaman daerah
2.     Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab
3.     Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah kabupaten dan daerah kota sedang pada daerah propinsi merupakan otonomi yang terbatas
4.     Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi negara
5.     Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih mengikatkan kemandirian daerah otonomi
6.     Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peran dan fungsi badan legislatif daerah
7.     Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada daerah propinsi dalam kedudukannya sebagai daerah administrasi
8.     Pelaksanaan asas tugas pembantuan dari pemerintah dan daerah ke desa disertai pembiayaan sarana dan prasarana serta SDM dengan kewajiban melaporkan dan bertanggung jawab kepada yang menugaskan
P.     Kendala/Ketimpangan-Ketimpangan Yang Sering Terjadi Dalam Penerapan Kebijakan Otonomi Daerah :
1.     High Cost Economic dalam bentuk pungutan-pungutan yang membabi buta. Otonomi daerah dapat berubah sifat menjadi “Anarkisme Financial”
2.     High Cost Economic dalam bentuk KKN
3.     Orientasi Pemda pada Cash Inflow, bukan pendapatan
4.     Pemda bisa menjadi “drakula” bagi anak-anak mereka sendiri yaitu BUMD-BUMD yang berada dibawah naungannya. Modusnya bisa jadi bukan melalui penjualan aset, melainkan melalui kebijakan penguasa daerah yang sulit ditolak oleh jajaran pimpinan BUMD
5.     Karena terfokus pada penerimaan dana Pemda bisa melupakan kriteria pembuktian berkelanjutan
6.     Munculnya hambatan bagi mobilitas sumber daya
7.     Potensi konflik antar daerah menyangkut pembagian hasil pungutan
8.     Bangkitnya egosentrisme
9.     Karena derajat keberhasilan otonomi lebih dilandaskan pada aspek-aspek finansial pemerintah daerah bisa melupakan misi dan visi otonomi sebenarnya.
10.  Munculnya bentuk hubungan kolutif antara eksekutif dan legislatif di daerah.
Q.   Cara Mengoptimalkan Pelaksanaan Otonomi Daerah
Pelaksanaan Otonomi Daerah yang seharusnya membawa perubahan positif bagi daerah otonom ternyata juga dapat membuat daerah otonom tersebut menjadi lebih terpuruk akibat adanya berbagai penyelewengan yang dilakukan oleh aparat pelaksana Otonomi Daerah tersebut.
Penerapan Otonomi Daerah yang efektif memiliki beberapa syarat yang sekaligus merupakan faktor yang sangat berpengaruh bagi keberhasilan Otonomi Daerah, yaitu:
1. Manusia selaku pelaksana dari Otonomi Daerah harus merupakan manusia yang berkualitas.
2. Keuangan sebagai sumber biaya dalam pelaksanaan Otonomi Daerah harus tersedia dengan cukup.
3. Prasarana, sarana dan peralatan harus tersedia dengan cukup dan memadai.
4. Organisasi dan manajemen harus baik.
Dari semua faktor tersebut di atas, “faktor manusia yang baik” adalah faktor yang paling penting karena berfungsi sebagai subjek dimana faktor yang lain bergantung pada faktor manusia ini. Oleh karena itu, sangat penting sekali untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia karena inilah kunci penentu dari berhasil tidaknya pelaksanaan Otonomi Daerah.
Selain itu, untuk mengoptimalkan pelaksanaan Otonomi Daerah harus ditempuh berbagai cara, seperti:
1. Memperketat mekanisme pengawasan kepada Kepala Daerah.
Hal ini dilakukan agar Kepala Daerah yang mengepalai suatu daerah otonom akan terkontrol tindakannya sehingga Kepala Daerah tersebut tidak akan bertindak sewenang-wenang dalam melaksanakan tugasnya tersebut. Berbagai penyelewengan yang dapat dilakukan oleh Kepala Daerah tersebut juga dapat dihindari dengan diperketatnya mekanisme pengawasan ini.
2. Memperketat pengawasan terhadap Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Pengawasan terhadap Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dapat dilakukan oleh Badan Kehormatan yang siap mengamati dan mengevaluasi sepak terjang anggota Dewan.
3. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah wajib menyusun kode etik untuk menjaga martabat dan kehormatan dalam menjalankan tugasnya
Dengan berbekal ketentuan yang baru tersebut, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang telah jelas-jelas terbukti melanggar larangan atau kode etik dapat diganti.
           

R.          Contoh kasus Otonomi Daerah
Polemik dan konflik antarkepala daerah sering menghantui sepanjang sembilan tahun perjalanan Banten menjadi provinsi. Pemerintah Provinsi Banten belum bisa menemukan formulasi yang tepat untuk membina hubungan baik dengan kabupaten/kota.
Ketidakselarasan hubungan dengan pemerintah kabupaten/pemerintah kota bisa dilihat dari frekuensi ketidakhadiran bupati/wali kota dalam kegiatan yang dilaksanakan Pemprov Banten. Sulit ditemukan saat semua bupati/wali kota berkumpul bersama Gubernur dalam suatu acara, sekalipun dalam rapat koordinasi.
Sebut saja Rapat Paripurna Istimewa Hari Ulang Tahun Ke-9 Provinsi Banten, 4 Oktober 2009. Tak semua bupati/wali kota hadir dalam acara di Gedung DPRD Banten di Kecamatan Curug, Kota Serang, itu. Hanya Bupati Serang Taufik Nuriman, Penjabat Wali Kota Tangerang Selatan M Shaleh, dan Wakil Bupati Lebak Amir Hamzah yang hadir. Adapun Wali Kota Serang Bunyamin, Pelaksana Tugas Bupati Pandeglang Erwan Kurtubi, Wali Kota Cilegon Tubagus Aat Syafaat, Bupati Tangerang Ismet Iskandar, dan Wali Kota Tangerang Wahidin Halim tidak terlihat hadir.
Ketidakhadiran itu menjadi biasa apabila hubungan antara Gubernur dan bupati/wali kota benar-benar harmonis. Namun, sering kali bupati/wali kota tak hadir dalam acara Pemprov karena mereka sedang berpolemik.
Salah satu contoh saat Menteri Dalam Negeri (saat itu) Mardiyanto melantik M Shaleh menjadi Penjabat Wali Kota Tangerang Selatan, Januari 2010, Bupati Tangerang tak hadir. Padahal, Tangerang Selatan adalah daerah pemekaran dari Kabupaten Tangerang.
Bahkan, tujuh camat yang wilayahnya masuk Kota Tangerang Selatan pun tidak mengikuti pelantikan itu. Bupati dan camat tidak hadir lantaran kecewa karena usulan mereka agar Penjabat Wali Kota Tangerang Selatan berasal dari Kabupaten Tangerang tidak diindahkan. Mereka menganggap Gubernur Ratu Atut Chosiyah memaksakan kehendak menempatkan ”orang dekat” untuk memimpin Tangerang Selatan.
Polemik antara Gubernur dan bupati/wali kota selalu terjadi sepanjang tahun sejak Provinsi Banten terbentuk. Hampir setiap tahun, saat penyusunan Rancangan APBD Banten, polemik antarkepala daerah terjadi. Bupati/wali kota kerap mengancam akan menolak program Pemprov karena usulan mereka tentang besaran dana bantuan tunai atau block grant tidak terpenuhi.
Pertikaian itu terakhir kali terjadi pada September 2009 saat Pemprov Banten menyusun Rancangan APBD tahun 2010. Bupati dan wali kota mengancam memboikot semua kebijakan yang dikeluarkan Gubernur, lantaran Pemprov merencanakan menurunkan nilai bantuan keuangan menjadi Rp 5 miliar per kabupaten/kota.
Bupati/wali kota kesal karena besaran bantuan keuangan terus turun setiap tahun. Sebelumnya selama 2003-2008, setiap kabupaten/kota menerima bantuan keuangan Rp 20 miliar. Jumlah itu turun menjadi Rp 15 miliar pada 2009.
Semua kepala daerah yang tergabung dalam Forum Komunikasi Bupati/Wali Kota Se-Banten itu bersepakat menolak bekerja sama dan memilih memboikot program pembangunan yang menjadi kebijakan Pemprov. Kesepakatan pemboikotan itu diserahkan secara resmi dalam bentuk surat kepada Gubernur.
Selain itu, bupati/wali kota pun terkadang tidak segan menunjukkan perlawanan di depan publik. Bupati Serang Taufik Nuriman, misalnya, beberapa kali menolak kebijakan Gubernur. Pertengahan tahun lalu, dia menolak bantuan keuangan Rp 5 miliar dari Pemprov karena takut terjerat hukum. Pasalnya, dana itu diberikan untuk pembangunan jalan lingkar Pasar Induk Rau yang pekerjaannya dilakukan tanpa tender.
Sejak awal menjabat sebagai bupati pada 2005, Taufik dikenal sebagai salah satu kepala daerah yang keras melawan Gubernur. Sikap itu baru melunak beberapa bulan terakhir setelah ia dipasangkan dengan Ratu Tatu Chasanah, adik kandung Atut, dalam pencalonan sebagai Bupati Serang periode 2010-2015.
Proyek terbengkalai
Lemahnya koordinasi itu juga terlihat dari banyaknya proyek pembangunan pemerintah pusat ataupun Pemprov di kabupaten/kota yang terbengkalai. Selain tidak tepat sasaran, proyek Pemprov juga sering kali tidak dibutuhkan kabupaten/kota sehingga lebih terkesan memaksakan kehendak.
Salah satu contohnya adalah pembangunan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Balaraja, Kabupaten Tangerang. RSUD di Desa Tobat, Kecamatan Balaraja, itu dibangun Pemprov Banten melalui dana dekonsentrasi dari pemerintah pusat. Pada 2005-2007, pemerintah pusat mengucurkan dana hingga Rp 22,7 miliar untuk membangun rumah sakit itu. Namun, hingga 2008, pembangunan belum selesai dilakukan. Proyek itu sempat terbengkalai dan pembangunannya dihentikan.
Pembangunan RSUD sempat menimbulkan polemik. Saat itu, Bupati Tangerang Ismet Iskandar melontarkan kritik lantaran Pemprov lebih mendahulukan pembangunan gedung perkantoran, bukan ruang pelayanan. Pemkab Tangerang mendesak untuk mengambil alih penanganan RSUD Balaraja.
Proyek yang juga terbengkalai adalah pembangunan pos kesehatan desa (poskesdes). Pemprov membangun lebih dari 50 poskesdes di kabupaten/kota dengan dana APBD Banten tahun 2007 sebesar Rp 14,9 miliar. Tak sedikit bangunan poskesdes yang sampai saat ini terbengkalai, tidak dimanfaatkan.
Contoh lain adalah pembangunan RSUD Malingping, Kabupaten Lebak, dengan dana APBD Banten tahun 2004. RSUD itu sudah beroperasi, tetapi masih mengalami keterbatasan tenaga dan peralatan medis. Akibatnya, kini rumah sakit itu lebih mirip puskesmas plus yang dilengkapi fasilitas rawat inap.
Beberapa proyek Pemprov di Pandeglang pun terbengkalai karena tak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Salah satunya bantuan pompa air tanpa motor yang dialokasikan dari APBD Banten tahun 2003 sebesar Rp 3,5 miliar. Pembangunan Terminal Agro di Kecamatan Menes dan Cikedal pada 2002 terbengkalai pula. Meski pembangunannya menghabiskan dana lebih dari Rp 2 miliar, pasar agro itu tak pernah terealisasi.
Mantan anggota DPRD Banten asal Tangerang, Ansor, membenarkan, banyaknya proyek yang terbengkalai disebabkan kurangnya koordinasi antara provinsi dan kabupaten/kota. Ia mencontohkan pembangunan RSUD Balaraja yang terbengkalai akibat tarik-menarik kepentingan antara Pemprov dan Pemkab Tangerang.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas, dapat kita ambil kesimpulan bahwa pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia masih belum optimal. Walaupun di daerah Wonosobo dan Gorontalo terdapat contoh nyata keberhasilan pelaksanaan Otonomi Daerah, tetapi kedua daerah tersebut hanya merupakan contoh keberhasilan kecil dari pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia. Secara keseluruhan, pelaksanaan Otonomi Daerah di tempat-tempat lain di seluruh pelosok Indonesia masih belum dapat berjalan dengan optimal.
Belum optimalnya pelaksanaan Otonomi Daerah antara lain disebabkan karena adanya berbagai macam penyelewengan yang dilakukan oleh berbagai pihak yang terlibat dalam pelaksanaan Otonomi Daerah di daera-daerah otonom.
Banyak hal yang dapat dilakukan untuk mengoptimalkan pelaksanaan Otonomi Daerah, tetapi hal yang paling penting yang harus dilakukan untuk meningkatkan pelaksanaan Otonomi Daerah itu adalah dengan meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia sebagai pelaksana dari Otonomi Daerah tersebut. Sumber Daya Manusia yang berkualitas merupakan subjek dimana faktor-faktor lain yang ikut menentukan keberhasilan dalam pelaksanaan Otonomi Daerah ini bergantung. Oleh karena itu, sangat penting sekali untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia karena inilah kunci penentu dari berhasil tidaknya pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia.
B. Saran
Dari kesimpulan yang dijabarkan diatas, maka dapat diberikan saran antara lain:
1. Pemerintahan daerah dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan otonomi daerah, perlu memperhatikan hubungan antarsusunan pemerintahan dan antarpemerintah daerah, potensi dan keanekaragaman daerah.
2. Konsep otonomi luas, nyata, dan bertanggungjawab tetap dijadikan acuan dengan meletakkan pelaksanaan otonomi pada tingkat daerah yang paling dekat dengan masyarakat.
3. Keterlibatan masyarakat dalam pengawasan terhadap pemerintah daerah juga perlu diupayakan. Kesempatan yang seluas-luasnya perlu diberikan kepada masyarakat untuk berpartisipasi dan mengambil peran. Masyarakat dapat memberikan kritik dan koreksi membangun atas kebijakan dan tindakan aparat pemerintah yang merugikan masyarakat dalam pelaksanaan Otonomi Daerah. Karena pada dasarnya Otonomi Daerah ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat juga perlu bertindak aktif dan berperan serta dalam rangka menyukseskan pelaksanaan Otonomi Daerah.
4. Pihak-pihak yang berkepentingan dalam pelaksanaan Otonomi Daerah sebaiknya membuang jauh-jauh egonya untuk kepentingan pribadi ataupun kepentingan kelompoknya dan lebih mengedepankan kepentingan masyarakat. Pihak-pihak tersebut seharusnya tidak bertindak egois dan melaksanakan fungsi serta kewajibannya dengan baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ENTREPRENEURSHIP (KEWIRAUSAHAAN)

Definisi Entrepreneur dan Entrepreneurship dalam berbagai literatur agak berbeda satu sama lainnya. Kata entrepreneur dan entrepreneurship ...