Selasa, 07 Agustus 2018

PENCABUTAN HAK ATAS TANAH


BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Setelah Indonesia merdeka tidak ada peraturan yang mengatur baik pembebasan tanah atau pencabutan hak atas tanah. Atas dasar Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 maka peraturan yang ada dan berlaku pada saat itu tetap dapat diberlakukan sepanjang belum dibuat yang baru dan tidak bertentangan dengan ketentuan dalam UUD 1945. Dengan adanya ketentuan tersebut maka ketentuan pembebasan tanah pada masa Pemerintahan Hindia Belanda yang diatur dalam Gouvernements Besluit 1927 sebagaimana telah di rubah dengan Gouvernements Besluit 1932 dan peraturan pencabutan tanah sebagaimana diatur dalam Stb. 1920 nomor 574 dinyatakan tetap berlaku.
            Pada tahun 1960 dengan lahirnya UUPA tidak diatur secara tegas mengenai pembebasan tanah. Sedangkan pencabutan tanah secara tegas diatur dalam UUPA. Dalam Pasal 18 UUPA disebutkan bahwa untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang-Undang. Dari ketentuan Pasal 18 UUPA tersebut maka dapat dikatakan bahwa pencabutan hak atas tanah tersebut dapat dilakukan sepanjang tanah tersebut diperuntukkan bagi kepentingan umum.
            Kewenangan Negara dalam pengambil alihan hak atas tanah untuk kepentingan umum di Indonesia di derivasikan dari Hak Menguasai Negara. Hak menguasai negara memberikan kewenangan pengaturan dan penyelenggaraan bagi Negara dan dalam perkecualian untuk kepentingan umum baru dapat mengambil alih hak atas tanah rakyat. Negara tidak memiliki semua tanah maka Negara harus membayar kompensasi jika Negara memerlukan tanah milik rakyat untuk penyelenggaraan kepentingan umum tersebut.
            Berbeda dengan Hak Menguasai Negara yang dalam UUPA menempatkan Negara sebagai personifikasi seluruh rakyat untuk mengatur, menyelenggarakan peruntukkan, mengatur dan menentukan hubungan rakyat dan tanah, tetapi hanya bersifat hukum publik.

            Sebagai peraturan lebih lanjut maka dikeluarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 Tentang Pencabutan Hak Atas Tanah dan Benda-Benda Yang Ada Di Atasnya, Lembaran Negara (LN) Tahun 1961 Nomor 288, Tambagan Lembaran Negara (TLN) Nomor 2324. Dengan keluarnya Undang-UndangNomor 20 Tahun 1961 tersebut maka ketentuan mengenai pencabutan tanah pada masa Pemerintahan Hindia Belanda sebagaimana diatur dalam Onteigening sordonnantie (Stb. 1920 Nomor 574) dinyatakan tidak berlaku.

1.2.Rumusan Masalah
2.     Apa pengertian dari Pencabutan Hak Atas Tanah?
3.     Apa pengertian dari Pembebasan Hak atas Tanah?
4.     Bagaimana prosedur Pembebasan dan Pencabutan Hak atas tanah?
5.     Bagaimana perlindungan hukum bagi pemilik hak atas tanah?


























BAB II
PEMBAHASAN


2.1. Pengertian Pembebasan dan Pencabutan Hak atas Tanah

Maksud dari pencabutan hak atas tanah adalah pengambilan tanah secara paksa oleh negara yang mengakibatkan hak atas tanah itu hapus tanpa yang bersangkutan melakukan pelanggaran atau lalai dalam memenuhi kewajiban hukum tertentu dari pemilik hak atas tanah tersebut. Menurut Undang–undang nomor 20 tahun 1961 tentang pencabutan hak atas tanah dan benda–benda diatasnya hanya dilakukan untuk kepentingan umum termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama milik rakyat merupakan wewenang Presiden RI setelah mendengar pertimbangan apakah benar kepentingan umum mengharuskan hak atas tanah itu harus dicabut, pertimbangan ini disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri, Menteri Hukum dan HAM, serta menteri lain yang bersangkutan. Setelah Presiden mendengar pertimbangan tersebut, maka Presiden akan mengeluarkan Keputusan Presiden yang didalamnya terdapat besarnya ganti rugi untuk pemilik tanah yang haknya dicabut tadi. Kemudian jika pemilik tanah tidak setuju dengan besarnya ganti rugi, maka ia bisa mengajukan keberatan dengan naik banding pada pengadilan tinggi.
Dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 1961 ini pada dasarnya tetap mengedepankan adanya usaha-usaha musyawarah untuk mencapai kesepakatan, sehingga apabila terjadi kesepakatan tentu tidak ada pihak-pihak yang merasa dirugikan. Sebagaimana diuraikan dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 maka jika diperlukan tanah dan/atau benda lainnya kepunyaan orang lain untuk sesuatu keperluan haruslah lebih dahulu diusahakan agar tanah itu dapat diperoleh dengan persetujuan yang empunya. Tetapi cara yang demikian itu tidak selalu dapat membawa hasil yang diharapkan, karena ada kemungkinan yang mempunyai tanah minta harga yang terlampau tinggi ataupun tidak bersedia sama sekali untuk melepaskan tanahnya yang diperlukan untuk itu. Oleh karena kepentingan umum harus didahulukan dari pada kepentingan orang perorang, maka jika tindakan yang dimaksudkan itu memang benar-benar untuk kepentingan umum, dalam keadaan memaksa yaitu jika jalan musyawarah tidak dapat membawa hasil yang diharapkan, haruslah ada wewenang pada pemerintah untuk bisa mengambil dan menguasai tanah yang bersangkutan.
Jelaslah bahwa pencabutan hak adalah jalan yang terakhir untuk memperoleh tanah dan atau benda-benda lainnya yang diperlukan untuk kepentingan umum.  Dalam menjalankan pencabutan hak atas tanah, kepentingan pihak yang mempunyai hak atas tanah tidak boleh diabaikan. Oleh karena itu dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 ini dimuat jaminan-jaminan berupa pemberian ganti kerugian yang layak dan harus pula dilakukan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang. Oleh karena mencabut hak seseorang atau badan hukum maka harus diatur dalam bentuk Undang-Undang.
Pada tahun 1973 dikeluarkan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 1973 Tentang Pelaksanaan Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang ada diatasnya. Suatu kegiatan yang dapat dikategorikan dalam rangka pelaksanaan Pembangunan mempunyai sifat kepentingan umum, apabila kegiatan tersebut menyangkut :
  1. Kepentingan bangsa dan negara, dan/atau
  2. Kepentingan masyarakat luas, dan/atau
  3. Kepentingan rakyat banyak/bersama, dan/atau
  4. Kepentingan pembangunan.

Bentuk-bentuk kegiatan pembangunan yang mempunyai sifat kepentingan umum dalam Perpres No. 36 Tahun 2005 meliputi :
a.   Jalan umum, jalan tol, rel kereta api (di atas tanah, di ruang atas tanah, ataupun diruang bawah tanah), saluran air minum/air bersih, saluran pembuangan air dan sanitasi;
b.   Waduk, bendungan, irigasi, dan bangunan pengairan lainnya;
c.   Rumah sakit umum dan pusat kesehatan masyarakat;
d.   Pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta api dan terminal;
e.   Peribadatan;
f.    Pendidikan atau sekolah;
g.   Pasar umum;
h.   Fasilitas pemakaman umum;
i.    Fasilitas keselamatan umum;
j.    Pos dan telekomunikasi;
k.   Sarana olah raga;
l.    Stasiun penyiaran radio, televisi dan sarana pendukungnya;
m. Kantor Pemerintah, pemerintah daerah, perwakilan negara asing, Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan atau lembaga-lembaga internasional di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa;
n.   Fasilitas Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya;
o.   Lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan;
p.   Rumah susun sederhana;
q.   Tempat pembuangan sampah;
r.    Ragar alam dan cagar budaya;
s.   Pertamanan;
t.    Panti sosial;
u.   Pembangkit, transmisi, distribusi tenaga listrik.

Dalam peraturan pencabutan hak atas tanah tersebut diatas memberi wewenang kepada Presiden untuk melakukan pencabutan hak. Jadi hanya Presiden saja yang berwenang melakukan pencabutan hak atas tanah setelah mendengarkan pertimbangan dari Menteri Agraria (saat ini Kepala Badan Pertanahan), Menteri Kehakiman (saat ini Menteri Hukum Dan HAM) dan Menteri yang bersangkutan. Ini berarti hanya presiden yang mempertimbangkan dan menetapkan apakah benar kepentingan umum mengharuskan dilakukannya pencabutan hak atas tanah. Presiden juga yang menentukan besarnya ganti kerugian yang harus dibayar kepada yang berhak. Hanya jika yang berhak itu tidak bersedia menerima ganti kerugian yang ditetapkan oleh Presiden, karena dianggap kurang layak, maka pemegang hak atas tanah dapat minta banding kepada Pengadilan Tinggi, agar Pengadilan Tinggi yang menetapkan jumlah ganti kerugian. Sengketa ganti kerugian di Pengadilan Tinggi tersebut tidaklah menghentikan proses pencabutan hak. Akan tetapi sengketa di Pengadilan Tinggi itu hanya untuk menentukan besarnya ganti kerugian. Dengan demikian apabila Surat Keputusan Presiden mengenai pencabutan hak telah dikeluarkan, maka pelaksanaan pencabutan hak tidak dapat dihalang-halangi.
Berdasarkan Pasal 18 UUPA maka pencabutan hak atas tanah hanya diperuntukkan bagi kepentingan umum. Keharusan untuk kepentingan umum ini tentu memberikan kewenangan kepada pemerintah sebagai pelakunya.  Sebagaimana dikemukakan oleh Sudikno Mertokusumo bahwa tindakan pemerintah harus ditujukan kepada pelayanan umum dan memperhatikan serta melindungi kepentingan umum, sedangkan di dalam masyarakat banyak terdapat kepentingan-kepentingan, maka dari sekian banyak kepentingan-kepentingan harus dipilih dan dipastikan ada kepentingan-kepentingan yang harus didahulukan atau diutamakan dari kepentingan-kepentingan yang lain. Jadi kepentingan umum adalah kepentingan yang harus diutamakan dan didahulukan dengan tetap memperhatikan proporsi pentingnya dan tetap menghormati kepentingan-kepentingan lain, namun dalam hal ini tidak berarti bahwa ada kewerdaan atau hierarkhi yang tetap antara kepentingan yang termasuk kepentingan umum dan kepentingan lainnya. Dengan kenyataan seperti ini maka bisa terjadi adanya perubahan yang dulu masuk kriteria kepentingan umum, berubah menjadi bukan untuk kepentingan numum. Perubahan perubahan yang ada telah nampak dalam peraturan perundang-undangan kita. Misalnya kriteria dan kegiatan yang termasuk kepentingan umum dalam Inpres 9 Tahun 1973 berbeda dengan yang ada pada Keppres Nomor 55 Tahun 1993 dan lain pula dengan Perpres Nomor 36 Tahun 2005 sebagaimana telah diubah dengan Perpres Nomor 65 Tahun 2006.
Dengan berbagai kriteria yang ada maka kepentingan umum selalu merupakan kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah, namun tidak semua kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah itu termasuk kepentingan umum. Bahkan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 dimungkinkan kegiatan yang dilakukan oleh pihak swasta dapat dilakukan pencabutan hak. Sebagaimana dimuat dalam Penjelasan Umum 4 huruf b Undang Undang Nomor 20 Tahun 1961 disebutkan bahwa :
Umumnya pencabutan hak diadakan untuk keperluan usaha-usaha Negara (Pemerintah Pusat dan Daerah), karena menurut Pasal 18 UUPA hal itu hanya dapat dilakukan untuk kepentingan umum. Tetapi biarpun demikian, ketentuan-ketentuan Undang-Undang ini tidak menutup kemungkinan untuk, sebagai perkecualian, mengadakan pula pencabutan hak guna pelaksanaan usaha-usaha swasta, asal usaha itu benar-benar untuk kepentingan umum dan tidak mungkin diperoleh tanah yang diperlukan melalui persetujuan dengan yang empunya. Sudah barang tentu usaha swasta tersebut rencananya harus disetujui Presiden dan sesuai dengan pola pembangunan nasional semesta berencana. Contoh dari pada kepentingan umum itu misalnya pembuatan jalan raya, pelabuhan, bangunan untuk industri dan pertambangan, perumahan dan kesejahteraan rakyat serta lain-lain usaha dalam rangka pelaksanaan pembangunan nasional semesta berencana. Jika untuk menyelesaikan suatu soal pemakaian tanah tanpa hak oleh rakyat, Pemerintah memandang perlu untuk menguasai sebagian tanah kepunyaan pemiliknya, maka jika pemilik itu tidak bersedia menyerahkan tanah yang bersangkutan atas dasar musyawarah, soal tersebut dapat pula dianggap sebagai suatu kepentingan umum untuk mana dapat dilakukan pencabutan hak.”
Pembebasan/pelepasan hak atas tanah adalah pelepasan hubungan hukum antara seseorang dengan tanah yang dimilikinya dengan cara pemberian ganti rugi yang besarnya di dasarkan pada musyawarah antara kedua pihak sedangkan pencabutan hak atas tanah adalah pengambilan tanah secara paksa oleh negara atas tanah milik seseorang yang mengakibatkan hak atas tanah itu menjadi hapus, tanpa yang bersangkutan melakukan pelanggaran atau kelalaian dalam memenuhi kewajiban hukumnya.
Ada perbedaan dalam pembebasan dan pencabutan hak atas tanah baik mengenai dasr hukumnya maupun mengenai prosedur dan penyelesaianya. Secara yuridis tentang pencabutan hak atas tanah di atur dalam UU No. 20 tahun 1961, PP No. 39 tahun 1973 dan inpres No. 9 tahun di dalam PMDN No. 15 tahun 1975, PMDN No. 2 tahun 1976, surat edaran dritjen agraria No. 12/108/12/75, surat edaran agraria No. BTU 2/268/2/76 dan lain-lain


2.2.     Prosedur pencabutan hak atas tanah
Melakukan Pencabutan hak atas tanah untuk kepentingan umum harus dipenuhi adanya beberapa persyaratan :
1.      Pencabutan hak hanya dapat dilakukan bilamana kepentingan umum harus tegas menjadi dasar dalam pencabutan hak ini. Termasuk dalam pengertian kepentingan umum ini adalah kepentingan bangsa, negara, kepentingan bersama dari rakyat, serta kepentingan pembangunan.
2.      Pencabutan hak hanya dapat dilakukan oleh pihak yang berwenang
3.      Pencabutan hak atas tanah harus disertai dengan ganti kerugian yang layak. Pemilik tanah berhak atas pembayaran sejumlah ganti kerugian yang layak berdasarkan atas harga yang pantas.

Tata cara Musyawarah dalam hal pencabutan hak atas tanah :
1.    Dilakukan secara langsung antara pemegang hak, instansi yang memerlukan tanah dan panitia
2.    Dalam hal jumlah pemegang hak tidak memungkinkan terselenggaranya musyawarah secara efektif, dilakukan melalui perwakilan atau melalui kuasanya
3.    Penunjukan kuasa dilakukan secara tertulis, bermaterai diketahui kepala desa atau pejabat yang berwenang
4.    Musyawah dipimpin oleh Ketua Panitia Pengadaan tanah

Jangka waktu dan Hasil Musyawarah
1.    Dalam hal kegiatan tidak dialihkan atau dipindahkan secara teknis tata ruang ketempat lain atau lokasi lain, maka musyawarah dilakukan selama 120 hari kalender sejak tanggal undangan pertama
2.    Apabila tidak tercapai kesepakatan panitia menetapkan besar ganti rugi uang kepada pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi lokasi tanah yang bersangkutan
3.    Apabila terjadi sengketa kepemilikan setelah penetapan ganti rugi, maka panitia menitipkan ganti rugi uang kepada PN
4.    Apabila tercapai kesepakatan antara pemegang hak atas tanah, instansi pemerintah yang memerlukan tanah, maka panitia menerbitkan Keputusan berupa bentuk dan besarnya ganti rugi sesuai kesepakatan
5.    Penggantian kerugian terhadap bidang tanah yang dikuasai dengan hak ulayat diberikan dalam bentuk pembangunan fasilitas umum atau bentuk lain yang bermanfaat bagi masyarakat.

Bentuk ganti rugi berupa :
1.    Uang
2.    Tanah pengganti
3.    Pemukiman kembali
4.    Gabungan dari dua atau lebih bentuk ganti rugi sebagaimana dimaksud huruf a,b, dan c
5.    Bentuk lain yang disetujui oleh pihak-pihak yang bersangkutan

Dasar perhitungan besar ganti rugi didasarkan atas:
a.    NJOP atau nilai nyata/sebenarnya dengan memperhatikan NJOP tahun berjalan berdasarkan penilaian lembaga/Tim Penilai Harga Tanah yang ditunjuk panitia
b.    Nilai jual bangunan yang ditaksir oleh perangkat daerah yang bertanggung jawab dibidang banguna
c.    Nilai jual tanaman yang ditaksir oleh perangkat daerah yang bertanggung jawab di bidang pertanian.

 Ganti Rugi diserahkan pada:
1.    Pemegang hak atas tanah
2.    Nadzir bagi tanah wakaf
3.    Apabila tanah dimiliki beberapa orang secara bersama , sedangkan satu atau beberapa orang tidak dapat diketemukan, maka ganti rugi yang menjadi haknya dititipkan di PN yang wilayah hukumnya meliputi tanah tersebut.

Keberatan atas Ganti Rugi dapat dilakukan dengan :
-        Pemegang hak yang tidak menerima keputusan panitia, dapat mengajukan keberatan kepada Bupati/Walikota/Gubernur/Mendagri sesuai kewenangan disertai dengan alasan keberatan
-        Pejabat tersebut mengupayakan penyelesaian dengan mempertimbangkan pendapat keinginan pemegang hak atas kuasanya
-        Setelah mendengarkan dan mempelajari pendapat dan keinginan serta pertimbangan panitia, pejabat dapat mengeluarkan keputusan mengukuhkan atau mengubah keputusan panitia

Apabila upaya yang dilakukan Bupati/walikota/Gubernur/Mendagri tetap tidak diterima pemegang hak sedang lokasi tidak dapat dipindahkan maka diusulkan untuk dilakukan pencabutan hak menurut UU No.20 tahun 1961, yaitu :
-        Usul disampaikan pada Kepala BPN dengan tembusan kepada Menteri dan instansi yang memerlukan tanah dan menteri hukum dan hak asasi manusia
-        Setelah menerima usul penyelesaian kepala BPN berkonsultasi dengan Menteri dan HAM
-        Permintaan pencabutan hak disampaikan kepada Presiden oleh Kepala BPN yang ditanda tangani oleh menteri instansi yang memerlukan tanah dan menteri hukum dan HAM
-        Apabila keputusan Presiden tentang ganti rugi tidak diterima oleh pemegang hak, maka dapat dimintakan banding pada Pengadilan Tinggi

Untuk lebih jelas lagi tata cara pencabutan menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 1961 Tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang Ada Diatasnya dapat dilihat dari penjelasan berikut.
Menurut pasal 1, pencabutan hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada diatasnya harus didasari demi kepentingan umum, kepentingan bangsa dan Negara, kepentingan bersama dalam masyarakat dan kepentingan pembangunan setelah Presiden mendengar Menteri Agraria, Menteri Kehakiman, dan Menteri yang bersangkutan dalam keadaan yang memaksa.
Untuk melaksanakan pencabutan hak-hak atas tanah itu maka dibutuhkan prosedur sebagaimana tertuang dalam UU No 20 Tahun 1961. Pengajuan pencabutan hak-hak atas tanah dilakukan oleh pihak yang berkepentingan kepada presiden melalui perantara Menteri Agraria, melalui Kepala Inspeksi Agraria yang bersangkutan.
Pencabutan hak atas tanah ini oleh pihak yang berkepentingan harus disertai dengan ;
1.   Rencana peruntukannya dan alasan-alasannya, bahwa untuk kepentingan umum harus dilakukan pencabutan hak itu.
2.   Keterangan tentang nama yang berhak (jika mungkin) serta letak, luas dan macam hak dari tanah yang akan dicabut haknya serta benda-benda yang bersangkutan.
3.   Rencana penampungan orang-orang yang haknya akan dicabut itu dan kalau ada, juga orang-orang yang menggarap tanah atau menempati rumah yang bersangkutan.

2.3. Prosedur Pembebasan Hak atas Tanah

            Menurut PMDN No. 15 tahun 1975 pembebasan tanah hanya dapat dilakukan apabila telah diperoleh kata sepakat antara pemegang kesepakatan itu menyangkut baik teknis dan pelaksanaanya maupun mengenai besar dan bentuk ganti rugi. Kesepakatan itu dilakukan atas dasar sukarela dengan cara musyawarah. Jika upaya pembebasan tanah menurut prosedur tersebut tidak di capai maka dapat di tempuh prosedur pencabutan seperti diatur dalam UU No. 20 tahun 1961 dengan ketentuan bahwa keperluan atau penggunaan atas tanah itu sangat mendesak.
            Pembebasan tanah tidak saja dapat dilakukan untuk kepentingan instansi pemerintahan sja namun intansi swasta juga yaitu dalam hal proyek-proyek yang bersifat menunjang kepentingan umum atau dalam bidang kepentinganpembangunan secara umum seperti di atur dalam PMDN No. 15 tahun 1975 dan PMDN No 2 tahun1976
            Dan bila dalam musyawarah tidak di temui kata sepakat maka dan di dalam UPDN No 15 tahun 1975 juga tidak di jelaskan bagaimana kah jiga tidak ditemui kata sepakat dalam musyawarah untuk pembebasan tanah, maka untuk menguasai tanah tersebut dapat ditempuh prosedur “pencabuatan” sesuai dengan undang-undang no 20 tahun 1961 dengan konsukwensi bahwa prosenya akan berjalan lebih lama.


2.4. Perlindungan Hukum bagi pemilik atas tanah

Perlindungan hukum bagi pemilik atas tanah yaitu penghormatan atas hak-haknya, baik itu hak atas tanah, atau pun hak ekonomi-sosial lainnya menjadi penting untuk mencegah kesewenang-wenangan penguasa yang mengatasnamakan kepentingan umum. Menurut Philipus M. Hadjon13, perlindungan hukum bagi rakyat dapat bersifat preventif yaitu dengan memberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan (inspraak) atau pendapatnya sebelum suatu keputusan Pemerintah mendapat bentuk yang definitif. Dan perlindungan hukum yang bersifat represif yaitu untuk menyelesaikan masalah yang telah timbul sebagai akibat dilaksanakannya keputusan Pemerintah tersebut, baik melalui Pengadilan Tata Usaha Negara atau Pengadilan Umum.

Perlindungan Hukum Preventif
Secara keseluruhan, peraturan perundang-undangan tentang pengambilalihan hak atas tanah untuk kepentingan umum di Indonesia tidak memberikan perlindungan hukum yang bersifat preventif dimana pemilik hak atas tanah dan pihak yang berkepentingan dapat mengajukan kesempatan menyatakan keberatan atas substansi pengambilalihan hak atas tanah tersebut.
Kemungkinan pengajuan keberatan hanya diberikan atas besarnya ganti rugi, bukan pada substansi pengambilalihan hak atas tanah itu sendiri yaitu “kepentingan umum”. Hal ini juga bisa dilihat dari tidak disertakannya lembaga legislatif sebagai wakil rakyat dalam perumusan kepentingan umum tersebut karena pengaturannya yang hanya dalam bentuk regulasi yang dibuat oleh pemerintah. Sosialisasi dari kegiatan “untuk kepentingan umum” yang dilakukan lebih menempatkan masyarakat sebagai pihak yang pasif dalam proses perumusan kepentingan umum. Demikian juga adanya lembaga musyawarah yang menyertakan masyarakat hanya dalam hal penentuan besarnya ganti rugi.
Pencabutan hak atas tanah untuk kepentingan umum menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 adalah perbuatan hukum Pemerintah yang dilakukan secara sepihak. Hal ini berarti bahwa suatu keberatan atas tindakan Pemerintah tersebut tidak dimungkinkan untuk diajukan kepada Pengadilan. Perlindungan hukum bagi rakyat adalah dalam bentuk harus dipenuhinya prosedur pencabutan hak atas tanah yang ditetapkan oleh Undang-Undang ini, dan dimungkinkannya pengajuan keberatan atas besarnya ganti rugi melalui acara Banding ke Pengadilan Tinggi.
Sedangkan tindakan pembebasan tanah menurut Permendagri Nomor 15 Tahun 1975, pada dasarnya merupakan tindakan yang melibatkan kedua pihak dalam suatu forum musyawarah. Tetapi musyawarah ini adalah untuk menetapkan jumlah ganti rugi, bukan perumusan substansi pengambilalihan hak atas tanah yaitu kepentingan umum. Sehingga perlindungan hukum bagi rakyat secara preventif juga tidak diberikan dalam pembebasan tanah.
Perkembangan selanjutnya adalah acara pengadaan tanah untuk kepentingan umum yaitu melalui pelepasan atau penyerahan hak atas tanah menurut Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993. Musyawarah juga diberikan tetapi hanya dalam penetapan ganti rugi. Selanjutnya pencabutan hak atas tanah dimungkinkan sebagai upaya terakhir.
Tetapi pencampuradukkan prosedur pelepasan atau penyerahan hak atas tanah dengan pencabutan hak atas tanah justru terjadi pada Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 dan meskipun kemudian ditentukan secara terpisah tetapi pada dasarnya tidak banyak mengalami perbaikan dalam Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006, yaitu dengan adanya batas waktu 120 hari. Padahal kedua Peraturan Presiden tersebut lahir setelah Amandemen II Undang-Undang Dasar 1945 yang telah mengakui secara jelas dan eksplisit tentang Hak Asasi Manusia termasuk hak milik.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa perlindungan hukum bagi rakyat secara preventif tidak diberi kemungkinannya dalam peraturan perundang-undangan tentang pengambilalihan hak atas tanah untuk kepentingan umum di Indonesia. Hal ini dapat disimpulkan dari: (1) musyawarah sebelum pelaksanaan pengambilalihan hak atas tanah tersebut hanya untuk menetapkan besarnya ganti rugi, bukan substansi kepentingan umum itu sendiri; (2) tidak dilibatkannya lembaga legislatif dalam perumusan kepentingan umum. Padahal seharusnya untuk mencegah kesewenang-wenangan akibat meluasnya penafsiran kepentingan umum sebagai alasan pengambilalihan hak atas tanah, maka harus diimbangi dengan kuatnya perlindungan hukum bagi rakyat.

Perlindungan Hukum Represif
Dari segi perlindungan hukum represifnya yaitu setelah atau ketika pelaksanaan pengambilalihan hak atas tanah tersebut, maka parameter yang digunakan adalah diberikannya jaminan mendapatkan ganti rugi yang layak, tersedianya lembaga musyawarah dan tersedianya upaya hukum yang diberikan. Menurut Maria SW. Sumardjono14, dalam penentuan ganti rugi seharusnya diperhitungkan pula faktor-faktor berikut:
1)      hilangnya hak atas tanah, bangunan, tanaman, dan lainnya;
2)      hilangnya sumber penghidupan dan pendapatan;
3)      bantuan untuk pindah ke lokasi lain dengan memberikan alternatif lokasi baru yang dilengkapi dengan fasilitas pelayanan yang layak;
4)      bantuan pemulihan pendapatan agar tercapai keadaan yang setara dengan sebelumnya.
Pemberian ganti rugi juga tidak hanya diberikan kepada pemegang hak atas tanah (yang sah/besertifikat), tetapi juga terhadap :
1)  yang menguasai tanah tanpa sertifikat dan bukti pemilikan lain;
2)  penyewa bangunan;
3)  penyewa/petani penggarap yang akan kehilangan hak sewa atau tanaman hasil usaha di tanah tersebut;
4)  buruh tani/tunawisma yang akan kehilangan pekerjaan;
5)  pemakai tanah tanpa hak yang akan kehilangan lapangan kerja atau penghasilan;
6)  masyarakat hukum adat yang akan kehilangan tanah dan sumber penghidupan.

Dari sejumlah peraturan tersebut, ganti rugi yang diberikan lebih bersifat materiil yaitu atas kerugian yang bersifat fisik. Baru kemudian pada Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 dan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006, diperkenalkan ganti rugi atas kerugian immateriil. Tetapi kemudian ini tidak dijelaskan secara khusus, baik itu mengenai ruang lingkup kerugian immateriil maupun jenis dan jumlah ganti ruginya.
Lembaga musyawarah sebagaimana telah disebut di atas, disediakan dalam acara pembebasan tanah dan pengadaan tanah. Musyawarah secara langsung yang dilakukan secara independen menurut Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 kemudian dibatasi dengan waktu 90 hari dalam Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 dan menjadi 120 hari menurut Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006. Meskipun tujuannya untuk kepastian bagi kedua belah pihak tetapi batas waktu ini dapat mengurangi perlindungan hukum bagi rakyat yang diambilalih hak atas tanahnya, terutama jika kemudian ganti rugi ditetapkan secara sepihak dan dititipkan ke Pengadilan.
Sedangkan dari segi upaya hukum yang diberikan adalah sebagai berikut:
1.      Penyelesaian secara internal, dalam arti dilakukan tanpa melibatkan lembaga lain yaitu hanya di lingkungan eksekutif. Hal ini bisa dilihat dalam upaya penyelesaian yaitu pengajuan keberatan kepada Gubernur (eksekutif). Penyelesaian ini dimungkinkan dalam pembebasan tanah dan pengadaan tanah berdasar pelepasan atau penyerahan hak atas tanah;
2.      Sedangkan penyelesaian sengketa yang melibatkan lembaga yudikatif (Pengadilan) diberikan dengan pengajuan upaya hukum Banding ke Pengadilan Tinggi pada tingkat pertama dan terakhir. Tetapi perlu diperhatikan bahwa keterlibatan Pengadilan yang diatur di sini hanya mengenai jumlah ganti rugi, tidak diatur mengenai kemungkinan dilakukannya penafsiran atau penemuan hukum oleh Pengadilan terhadap substansi “untuk kepentingan umum”. Batas waktu pengajuan keberatan ini hanya satu bulan setelah diperolehnya Keputusan Presiden tentang pencabutan hak atas tanah tersebut oleh pemilik atau pemegang hak atas tanah. Ditentukan pula bahwa proses ini tidak menghentikan pelaksanaan pencabutan hak atas tanah;
3.      Pada dasarnya setelah dikenal adanya Pengadilan Tata Usaha Negara maka dimungkinkan pula mengajukan keberatan atas suatu tindakan pemerintah atau Keputusan Tata Usaha Negara ke Pengadilan tersebut. Hal ini dimungkinkan, apabila suatu tindakan Pemerintah berupa pengambilalihan hak atas tanah itu tidak sesuai dengan prosedur atau tidak sesuai dengan kewenangan yang diberikan, atau tindakan yang onrechtmatige-overheidsdaad. Kemungkinan terjadinya perbuatan melawan hukum oleh penguasa ini misalnya dalam bentuk penetapan ganti rugi yang tidak mengindahkan dasar pertimbangan yang layak, daerah penampungan yang tidak memenuhi standar persyaratan hidup dan terisolir secara sosial16. Tetapi Keputusan Tata Usaha Negara yang dapat diajukan adalah yang bersifat konkrit, individual, final dan berakibat hukum (penetapan). Sehingga dalam hal pencabutan hak atas tanah berdasar Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 yang mengharuskan suatu Keputusan Presiden yang bersifat penetapan, maka pengajuan ke Pengadilan Tata Usaha Negara sebenarnya17 Sedangkan dalam acara pembebasan tanah dan pengadaan tanah maka Keputusan Tata Usaha Negara tersebut juga harus memenuhi kriteria konkrit, individual, final dan berakibat hukum (penetapan), misalnya Surat Keputusan Gubernur atau Kepala Daerah yang telah ditujukan kepada perseorangan;
4.      Sebagai alternatif lainnya, pengajuan hak uji materiil (judicial review) atas peraturan yang berlaku secara umum (regulingen) kepada Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi juga bisa dilakukan atas suatu peraturan perundang-undangan tentang pengambilalihan hak atas tanah untuk kepentingan umum18. Hal ini karena menurut pasal 8 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, hak asasi manusia merupakan materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang sebagai kelanjutan ketentuan UUD 1945. Sedangkan pasal 11 ditentukan bahwa, materi muatan Peraturan Presiden adalah materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang atau untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah.






BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Pada asasnya kebutuhan akan tanah untuk keperluan pembangunan guna kepentingan umum haruslah terlebih dahulu diusahakan agar tanah itu dapat diperoleh dengan persetujuan dari pemiliknya, misalnya atas dasar jual beli, tukar menukar atau dengan cara lainnya. Tetapi apabila cara demikian tidak berhasil karena ada kemungkinan pemilik tanah meminta ganti rugi terlalu tinggi atau tidak bersedia sama sekali untuk melepaskan tanah yang diperlukan itu, maka kepentingan umum harus lebih diutamakan dari pada kepentingan perseorangan.
Pencabutan hak atas tanah menurut UUPA adalah suatu tindakan pengambilan tanah kepunyaan orang lain atau tanah suatu pihak tertntu oleh Negara secara paksa, yang mengakibatkan hak atas tanah itu menjadi hapus, tanpa yang bersangkutan melakukan  suatu pelanggaran atau lalai dalam memnuhi suatu kewajiban hukum.
Pada umumnya pencabutan hak ini diadakan guna keperluan usaha-usaha Negara, untuk pemerintah pusat maupun daerah, tetapi menurut penjelasan Undang-undang No. 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak atas tanh dan benda-benda yang ada diatasnya sebagai pengecualian dapat juga dilakukan guna pelaksanaan usaha swasta asalkan usaha itu benar-benar untuk kepentingan umum.

3.2. Saran
Pencabutan hak atas tanah milik yang tidak dilandasi amanat Pasal 18 UUPA seringkali terjadi. Masyarakat dituntut untuk melepaskan haknya dengan alih-alih untuk kepentingan umum dengan diperkuat oleh asas fungsi sosial hak atas tanah yang termuat dalam pasal 6 UUPA, tetapi ganti kerugian yang diberikan tidak seimbang dengan nilai hak yang dilepaskan sehingga banyak masyarakat yang pada akhirnya tidak dapat bermukim kembali secara layak karena ganti kerugian yang diterima tidak mampu untuk menggantikan kedudukannya seperti sedia kala. Bagi penduduk yang masih memiliki lahan luas, mungkin hal tersebut tidak terlalu dipermasalahkan, namun bagi sebagian besar penduduk yang hanya memiliki sebidang lahan sempit, kenyataan pahit ini harus diterimanya dengan terpaksa. Ironisnya, kenyataan ini malah akan semakin menyeret pada proses pemiskinan penduduk yang entah disadari atau tidak oleh para pembuat kebijakan bahwa proses pemiskinan tersebut ternyata malah lahir dari para pelaksana kebijakan itu sendiri.



DAFTAR PUSTAKA

. UU No. 20 tahun 1961, tentang pencabutan hak-hak tanah dan benda yang ada di atas nya.
2Peraturan menteri dalam negeri No. 15 tahun 1975, tentang ketentuan ketentuan tentang pembebasan tanah.
3 Undang-Undang Pokok Agraria No 5 tahun 1960
5Sf marbun dan Moh. Mahfud Md Pokok-pokok hukum administrasi negara, liberty yogyakarta
6Supardi sh, Mhum hukum agraria, sinar grafika, 2006 palu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ENTREPRENEURSHIP (KEWIRAUSAHAAN)

Definisi Entrepreneur dan Entrepreneurship dalam berbagai literatur agak berbeda satu sama lainnya. Kata entrepreneur dan entrepreneurship ...