BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Setelah Indonesia
merdeka tidak ada peraturan yang mengatur baik pembebasan tanah atau pencabutan
hak atas tanah. Atas dasar Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 maka peraturan
yang ada dan berlaku pada saat itu tetap dapat diberlakukan sepanjang belum
dibuat yang baru dan tidak bertentangan dengan ketentuan dalam UUD 1945. Dengan
adanya ketentuan tersebut maka ketentuan pembebasan tanah pada masa
Pemerintahan Hindia Belanda yang diatur dalam Gouvernements Besluit 1927 sebagaimana
telah di rubah dengan Gouvernements Besluit 1932 dan peraturan pencabutan tanah
sebagaimana diatur dalam Stb. 1920 nomor 574 dinyatakan tetap berlaku.
           
Pada tahun 1960 dengan lahirnya UUPA tidak diatur secara tegas mengenai
pembebasan tanah. Sedangkan pencabutan tanah secara tegas diatur dalam UUPA. Dalam
Pasal 18 UUPA disebutkan bahwa untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan
bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah
dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang
diatur dengan Undang-Undang. Dari ketentuan Pasal 18 UUPA tersebut maka dapat
dikatakan bahwa pencabutan hak atas tanah tersebut dapat dilakukan sepanjang
tanah tersebut diperuntukkan bagi kepentingan umum.
           
Kewenangan Negara dalam pengambil alihan hak atas tanah untuk kepentingan umum
di Indonesia di derivasikan dari Hak Menguasai Negara. Hak menguasai negara
memberikan kewenangan pengaturan dan penyelenggaraan bagi Negara dan dalam
perkecualian untuk kepentingan umum baru dapat mengambil alih hak atas tanah rakyat.
Negara tidak memiliki semua tanah maka Negara harus membayar kompensasi jika
Negara memerlukan tanah milik rakyat untuk penyelenggaraan kepentingan umum
tersebut.
           
Berbeda dengan Hak Menguasai Negara yang dalam UUPA menempatkan Negara sebagai
personifikasi seluruh rakyat untuk mengatur, menyelenggarakan peruntukkan,
mengatur dan menentukan hubungan rakyat dan tanah, tetapi hanya bersifat hukum
publik.
           
Sebagai peraturan lebih lanjut maka dikeluarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
1961 Tentang Pencabutan Hak Atas Tanah dan Benda-Benda Yang Ada Di Atasnya,
Lembaran Negara (LN) Tahun 1961 Nomor 288, Tambagan Lembaran Negara (TLN) Nomor
2324. Dengan keluarnya Undang-UndangNomor 20 Tahun 1961 tersebut maka ketentuan
mengenai pencabutan tanah pada masa Pemerintahan Hindia Belanda sebagaimana
diatur dalam Onteigening sordonnantie (Stb. 1920 Nomor 574) dinyatakan tidak
berlaku.
1.2.Rumusan Masalah
2.     Apa pengertian dari Pencabutan Hak Atas Tanah?
3.    
Apa pengertian dari Pembebasan Hak
atas Tanah?
4.    
Bagaimana prosedur
Pembebasan dan Pencabutan Hak atas tanah?
5.    
Bagaimana perlindungan
hukum bagi pemilik hak atas tanah?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Pembebasan dan Pencabutan Hak atas
Tanah
Maksud dari pencabutan hak atas
tanah adalah pengambilan tanah secara paksa oleh negara yang mengakibatkan hak
atas tanah itu hapus tanpa yang bersangkutan melakukan pelanggaran atau lalai
dalam memenuhi kewajiban hukum tertentu dari pemilik hak atas tanah tersebut.
Menurut Undang–undang nomor 20 tahun 1961 tentang pencabutan hak atas tanah dan
benda–benda diatasnya hanya dilakukan untuk kepentingan umum termasuk
kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama milik rakyat merupakan
wewenang Presiden RI setelah mendengar pertimbangan apakah benar kepentingan
umum mengharuskan hak atas tanah itu harus dicabut, pertimbangan ini
disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri, Menteri Hukum dan HAM, serta menteri
lain yang bersangkutan. Setelah Presiden mendengar pertimbangan tersebut, maka
Presiden akan mengeluarkan Keputusan Presiden yang didalamnya terdapat besarnya
ganti rugi untuk pemilik tanah yang haknya dicabut tadi. Kemudian jika pemilik
tanah tidak setuju dengan besarnya ganti rugi, maka ia bisa mengajukan
keberatan dengan naik banding pada pengadilan tinggi.
Dalam
Undang-undang Nomor 20 tahun 1961 ini pada dasarnya tetap mengedepankan adanya usaha-usaha musyawarah untuk mencapai kesepakatan, sehingga apabila
terjadi kesepakatan tentu tidak ada pihak-pihak yang merasa dirugikan.
Sebagaimana diuraikan dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961
maka jika diperlukan tanah dan/atau benda lainnya kepunyaan orang lain untuk
sesuatu keperluan haruslah lebih dahulu diusahakan agar tanah itu dapat
diperoleh dengan persetujuan yang empunya. Tetapi cara yang demikian itu tidak
selalu dapat membawa hasil yang diharapkan, karena ada kemungkinan yang
mempunyai tanah minta harga yang terlampau tinggi ataupun tidak bersedia sama sekali
untuk melepaskan tanahnya yang diperlukan untuk itu. Oleh karena kepentingan
umum harus didahulukan dari pada kepentingan orang perorang, maka jika tindakan
yang dimaksudkan itu memang benar-benar untuk kepentingan umum, dalam keadaan
memaksa yaitu jika jalan musyawarah tidak dapat membawa hasil yang diharapkan,
haruslah ada wewenang pada pemerintah untuk bisa mengambil dan menguasai tanah
yang bersangkutan.
Jelaslah bahwa pencabutan hak adalah jalan yang terakhir untuk memperoleh tanah dan
atau benda-benda lainnya yang diperlukan untuk kepentingan umum.  Dalam
menjalankan pencabutan hak atas tanah, kepentingan pihak yang mempunyai hak
atas tanah tidak boleh diabaikan. Oleh karena itu dalam Undang-Undang Nomor 20
Tahun 1961 ini dimuat jaminan-jaminan berupa pemberian ganti kerugian yang
layak dan harus pula dilakukan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang.
Oleh karena mencabut hak seseorang atau badan hukum maka harus diatur dalam
bentuk Undang-Undang.
Pada tahun 1973 dikeluarkan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 1973 Tentang
Pelaksanaan Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang ada diatasnya.
Suatu kegiatan yang dapat dikategorikan dalam rangka pelaksanaan Pembangunan
mempunyai sifat kepentingan umum, apabila kegiatan tersebut menyangkut :
- Kepentingan bangsa dan
     negara, dan/atau
 - Kepentingan masyarakat luas,
     dan/atau
 - Kepentingan rakyat
     banyak/bersama, dan/atau 
 - Kepentingan pembangunan.
 
Bentuk-bentuk kegiatan pembangunan yang mempunyai sifat kepentingan umum dalam
Perpres No. 36 Tahun 2005 meliputi :
a.   Jalan umum, jalan
tol, rel kereta api (di atas tanah, di ruang atas tanah, ataupun diruang bawah
tanah), saluran air minum/air bersih, saluran pembuangan air dan sanitasi;
b.   Waduk, bendungan,
irigasi, dan bangunan pengairan lainnya;
c.   Rumah sakit umum dan
pusat kesehatan masyarakat;
d.   Pelabuhan, bandar
udara, stasiun kereta api dan terminal;
e.   Peribadatan;
f.    Pendidikan atau
sekolah;
g.   Pasar umum;
h.   Fasilitas pemakaman
umum;
i.    Fasilitas
keselamatan umum;
j.    Pos dan
telekomunikasi;
k.   Sarana olah raga;
l.    Stasiun
penyiaran radio, televisi dan sarana pendukungnya;
m. Kantor Pemerintah, pemerintah
daerah, perwakilan negara asing, Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan atau
lembaga-lembaga internasional di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa;
n.   Fasilitas Tentara
Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan tugas
pokok dan fungsinya;
o.   Lembaga
pemasyarakatan dan rumah tahanan;
p.   Rumah susun sederhana;
q.   Tempat pembuangan
sampah;
r.    Ragar alam dan
cagar budaya;
s.   Pertamanan;
t.    Panti sosial;
u.   Pembangkit,
transmisi, distribusi tenaga listrik.
Dalam peraturan
pencabutan hak atas tanah tersebut diatas memberi wewenang kepada Presiden untuk
melakukan pencabutan hak. Jadi hanya Presiden saja yang berwenang melakukan
pencabutan hak atas tanah setelah mendengarkan pertimbangan dari Menteri
Agraria (saat ini Kepala Badan Pertanahan), Menteri Kehakiman (saat ini Menteri
Hukum Dan HAM) dan Menteri yang bersangkutan. Ini berarti hanya presiden yang
mempertimbangkan dan menetapkan apakah benar kepentingan umum mengharuskan
dilakukannya pencabutan hak atas tanah. Presiden juga yang menentukan besarnya
ganti kerugian yang harus dibayar kepada yang berhak. Hanya jika yang berhak
itu tidak bersedia menerima ganti kerugian yang ditetapkan oleh Presiden,
karena dianggap kurang layak, maka pemegang hak atas tanah dapat minta banding
kepada Pengadilan Tinggi, agar Pengadilan Tinggi yang menetapkan jumlah ganti
kerugian. Sengketa ganti kerugian di Pengadilan Tinggi tersebut tidaklah
menghentikan proses pencabutan hak. Akan tetapi sengketa di Pengadilan Tinggi
itu hanya untuk menentukan besarnya ganti kerugian. Dengan demikian apabila
Surat Keputusan Presiden mengenai pencabutan hak telah dikeluarkan, maka
pelaksanaan pencabutan hak tidak dapat dihalang-halangi.
Berdasarkan Pasal 18 UUPA maka pencabutan hak atas tanah hanya diperuntukkan bagi
kepentingan umum. Keharusan untuk kepentingan umum ini tentu memberikan
kewenangan kepada pemerintah sebagai pelakunya.  Sebagaimana dikemukakan
oleh Sudikno Mertokusumo bahwa tindakan pemerintah harus ditujukan kepada
pelayanan umum dan memperhatikan serta melindungi kepentingan umum, sedangkan
di dalam masyarakat banyak terdapat kepentingan-kepentingan, maka dari sekian
banyak kepentingan-kepentingan harus dipilih dan dipastikan ada
kepentingan-kepentingan yang harus didahulukan atau diutamakan dari
kepentingan-kepentingan yang lain. Jadi kepentingan umum adalah kepentingan
yang harus diutamakan dan didahulukan dengan tetap memperhatikan proporsi
pentingnya dan tetap menghormati kepentingan-kepentingan lain, namun dalam hal
ini tidak berarti bahwa ada kewerdaan atau hierarkhi yang tetap antara
kepentingan yang termasuk kepentingan umum dan kepentingan lainnya. Dengan
kenyataan seperti ini maka bisa terjadi adanya perubahan yang dulu masuk
kriteria kepentingan umum, berubah menjadi bukan untuk kepentingan numum.
Perubahan perubahan yang ada telah nampak dalam peraturan perundang-undangan
kita. Misalnya kriteria dan kegiatan yang termasuk kepentingan umum dalam
Inpres 9 Tahun 1973 berbeda dengan yang ada pada Keppres Nomor 55 Tahun 1993
dan lain pula dengan Perpres Nomor 36 Tahun 2005 sebagaimana telah diubah
dengan Perpres Nomor 65 Tahun 2006.
Dengan berbagai kriteria yang ada maka kepentingan umum selalu merupakan kegiatan
yang dilakukan oleh pemerintah, namun tidak semua kegiatan yang dilakukan oleh
pemerintah itu termasuk kepentingan umum. Bahkan dengan Undang-Undang Nomor 20
Tahun 1961 dimungkinkan kegiatan yang dilakukan oleh pihak swasta dapat
dilakukan pencabutan hak. Sebagaimana dimuat dalam Penjelasan Umum 4 huruf b
Undang Undang Nomor 20 Tahun 1961 disebutkan bahwa : 
” Umumnya pencabutan hak diadakan untuk keperluan usaha-usaha Negara (Pemerintah
Pusat dan Daerah), karena menurut Pasal 18 UUPA hal itu hanya dapat dilakukan
untuk kepentingan umum. Tetapi biarpun demikian, ketentuan-ketentuan
Undang-Undang ini tidak menutup kemungkinan untuk, sebagai perkecualian, mengadakan
pula pencabutan hak guna pelaksanaan usaha-usaha swasta, asal usaha itu
benar-benar untuk kepentingan umum dan tidak mungkin diperoleh tanah yang
diperlukan melalui persetujuan dengan yang empunya. Sudah barang tentu usaha
swasta tersebut rencananya harus disetujui Presiden dan sesuai dengan pola
pembangunan nasional semesta berencana. Contoh dari pada kepentingan umum itu
misalnya pembuatan jalan raya, pelabuhan, bangunan untuk industri dan
pertambangan, perumahan dan kesejahteraan rakyat serta lain-lain usaha dalam
rangka pelaksanaan pembangunan nasional semesta berencana. Jika untuk
menyelesaikan suatu soal pemakaian tanah tanpa hak oleh rakyat, Pemerintah
memandang perlu untuk menguasai sebagian tanah kepunyaan pemiliknya, maka jika
pemilik itu tidak bersedia menyerahkan tanah yang bersangkutan atas dasar
musyawarah, soal tersebut dapat pula dianggap sebagai suatu kepentingan umum
untuk mana dapat dilakukan pencabutan hak.”
Pembebasan/pelepasan hak atas tanah adalah pelepasan hubungan hukum antara
seseorang dengan tanah yang dimilikinya dengan cara pemberian ganti rugi yang
besarnya di dasarkan pada musyawarah antara kedua pihak sedangkan pencabutan
hak atas tanah adalah pengambilan tanah secara paksa oleh negara atas tanah
milik seseorang yang mengakibatkan hak atas tanah itu menjadi hapus, tanpa yang
bersangkutan melakukan pelanggaran atau kelalaian dalam memenuhi kewajiban
hukumnya.
Ada perbedaan dalam
pembebasan dan pencabutan hak atas tanah baik mengenai dasr hukumnya maupun
mengenai prosedur dan penyelesaianya. Secara yuridis tentang pencabutan hak
atas tanah di atur dalam UU No. 20 tahun 1961, PP No. 39 tahun 1973 dan inpres
No. 9 tahun di dalam PMDN No. 15 tahun 1975, PMDN No. 2 tahun 1976, surat
edaran dritjen agraria No. 12/108/12/75, surat edaran agraria No. BTU
2/268/2/76 dan lain-lain
2.2.    
Prosedur pencabutan hak atas tanah
Melakukan Pencabutan hak atas tanah
untuk kepentingan umum harus dipenuhi adanya beberapa persyaratan :
1.     
Pencabutan hak hanya dapat dilakukan bilamana kepentingan umum harus tegas
menjadi dasar dalam pencabutan hak ini. Termasuk dalam pengertian kepentingan
umum ini adalah kepentingan bangsa, negara, kepentingan bersama dari rakyat,
serta kepentingan pembangunan.
2.     
Pencabutan hak hanya dapat dilakukan oleh pihak yang berwenang
3.     
Pencabutan hak atas tanah harus disertai dengan ganti kerugian yang layak.
Pemilik tanah berhak atas pembayaran sejumlah ganti kerugian yang layak
berdasarkan atas harga yang pantas.
Tata cara Musyawarah dalam hal pencabutan
hak atas tanah :
1.    Dilakukan
secara langsung antara pemegang hak, instansi yang memerlukan tanah dan panitia
2.    Dalam hal
jumlah pemegang hak tidak memungkinkan terselenggaranya musyawarah secara
efektif, dilakukan melalui perwakilan atau melalui kuasanya
3.    Penunjukan
kuasa dilakukan secara tertulis, bermaterai diketahui kepala desa atau pejabat
yang berwenang
4.    Musyawah
dipimpin oleh Ketua Panitia Pengadaan tanah
Jangka waktu dan Hasil Musyawarah
1.    Dalam hal
kegiatan tidak dialihkan atau dipindahkan secara teknis tata ruang ketempat
lain atau lokasi lain, maka musyawarah dilakukan selama 120 hari kalender sejak
tanggal undangan pertama
2.    Apabila tidak
tercapai kesepakatan panitia menetapkan besar ganti rugi uang kepada pengadilan
negeri yang wilayah hukumnya meliputi lokasi tanah yang bersangkutan
3.    Apabila terjadi
sengketa kepemilikan setelah penetapan ganti rugi, maka panitia menitipkan
ganti rugi uang kepada PN
4.    Apabila
tercapai kesepakatan antara pemegang hak atas tanah, instansi pemerintah yang
memerlukan tanah, maka panitia menerbitkan Keputusan berupa bentuk dan besarnya
ganti rugi sesuai kesepakatan
5.    Penggantian
kerugian terhadap bidang tanah yang dikuasai dengan hak ulayat diberikan dalam
bentuk pembangunan fasilitas umum atau bentuk lain yang bermanfaat bagi
masyarakat.
Bentuk ganti rugi berupa :
1.    Uang
2.    Tanah pengganti
3.    Pemukiman
kembali
4.    Gabungan dari
dua atau lebih bentuk ganti rugi sebagaimana dimaksud huruf a,b, dan c
5.    Bentuk lain
yang disetujui oleh pihak-pihak yang bersangkutan
Dasar perhitungan besar ganti rugi didasarkan atas:
a.    NJOP atau nilai
nyata/sebenarnya dengan memperhatikan NJOP tahun berjalan berdasarkan penilaian
lembaga/Tim Penilai Harga Tanah yang ditunjuk panitia
b.    Nilai jual
bangunan yang ditaksir oleh perangkat daerah yang bertanggung jawab dibidang
banguna
c.    Nilai jual
tanaman yang ditaksir oleh perangkat daerah yang bertanggung jawab di bidang
pertanian.
 Ganti Rugi
diserahkan pada:
1.    Pemegang hak
atas tanah
2.    Nadzir bagi
tanah wakaf
3.    Apabila tanah
dimiliki beberapa orang secara bersama , sedangkan satu atau beberapa orang
tidak dapat diketemukan, maka ganti rugi yang menjadi haknya dititipkan di PN
yang wilayah hukumnya meliputi tanah tersebut.
Keberatan atas Ganti Rugi dapat
dilakukan dengan :
-       
Pemegang hak yang tidak menerima
keputusan panitia, dapat mengajukan keberatan kepada
Bupati/Walikota/Gubernur/Mendagri sesuai kewenangan disertai dengan alasan
keberatan
-       
Pejabat tersebut mengupayakan
penyelesaian dengan mempertimbangkan pendapat keinginan pemegang hak atas
kuasanya
-       
Setelah mendengarkan dan mempelajari
pendapat dan keinginan serta pertimbangan panitia, pejabat dapat mengeluarkan
keputusan mengukuhkan atau mengubah keputusan panitia
Apabila upaya yang dilakukan
Bupati/walikota/Gubernur/Mendagri tetap tidak diterima pemegang hak sedang
lokasi tidak dapat dipindahkan maka diusulkan untuk dilakukan pencabutan hak
menurut UU No.20 tahun 1961, yaitu :
-       
Usul disampaikan pada Kepala BPN
dengan tembusan kepada Menteri dan instansi yang memerlukan tanah dan menteri
hukum dan hak asasi manusia
-       
Setelah menerima usul penyelesaian
kepala BPN berkonsultasi dengan Menteri dan HAM
-       
Permintaan pencabutan hak
disampaikan kepada Presiden oleh Kepala BPN yang ditanda tangani oleh menteri
instansi yang memerlukan tanah dan menteri hukum dan HAM
-       
Apabila keputusan Presiden tentang
ganti rugi tidak diterima oleh pemegang hak, maka dapat dimintakan banding pada
Pengadilan Tinggi
Untuk lebih jelas lagi tata cara
pencabutan menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 1961 Tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan
Benda-Benda yang Ada Diatasnya dapat dilihat dari penjelasan berikut.
Menurut pasal 1, pencabutan hak-hak
atas tanah dan benda-benda yang ada diatasnya harus didasari demi kepentingan
umum, kepentingan bangsa dan Negara, kepentingan bersama dalam masyarakat dan
kepentingan pembangunan setelah Presiden mendengar Menteri Agraria, Menteri
Kehakiman, dan Menteri yang bersangkutan dalam keadaan yang memaksa.
Untuk melaksanakan pencabutan
hak-hak atas tanah itu maka dibutuhkan prosedur sebagaimana tertuang dalam UU
No 20 Tahun 1961. Pengajuan pencabutan hak-hak atas tanah dilakukan oleh pihak
yang berkepentingan kepada presiden melalui perantara Menteri Agraria, melalui
Kepala Inspeksi Agraria yang bersangkutan.
Pencabutan hak atas tanah ini oleh
pihak yang berkepentingan harus disertai dengan ;
1.   Rencana peruntukannya
dan alasan-alasannya, bahwa untuk kepentingan umum harus dilakukan pencabutan
hak itu.
2.   Keterangan tentang
nama yang berhak (jika mungkin) serta letak, luas dan macam hak dari tanah yang
akan dicabut haknya serta benda-benda yang bersangkutan.
3.   Rencana penampungan
orang-orang yang haknya akan dicabut itu dan kalau ada, juga orang-orang yang
menggarap tanah atau menempati rumah yang bersangkutan.
2.3. Prosedur Pembebasan Hak
atas Tanah
           
Menurut PMDN No. 15 tahun 1975 pembebasan tanah hanya dapat dilakukan apabila
telah diperoleh kata sepakat antara pemegang kesepakatan itu menyangkut baik
teknis dan pelaksanaanya maupun mengenai besar dan bentuk ganti rugi.
Kesepakatan itu dilakukan atas dasar sukarela dengan cara musyawarah. Jika
upaya pembebasan tanah menurut prosedur tersebut tidak di capai maka dapat di
tempuh prosedur pencabutan seperti diatur dalam UU No. 20 tahun 1961 dengan
ketentuan bahwa keperluan atau penggunaan atas tanah itu sangat mendesak.
           
Pembebasan tanah tidak saja dapat dilakukan untuk kepentingan instansi
pemerintahan sja namun intansi swasta juga yaitu dalam hal proyek-proyek yang
bersifat menunjang kepentingan umum atau dalam bidang kepentinganpembangunan
secara umum seperti di atur dalam PMDN No. 15 tahun 1975 dan PMDN No 2
tahun1976
           
Dan bila dalam musyawarah tidak di temui kata sepakat maka dan di dalam UPDN No
15 tahun 1975 juga tidak di jelaskan bagaimana kah jiga tidak ditemui kata
sepakat dalam musyawarah untuk pembebasan tanah, maka untuk menguasai tanah
tersebut dapat ditempuh prosedur “pencabuatan” sesuai dengan undang-undang no
20 tahun 1961 dengan konsukwensi bahwa prosenya akan berjalan lebih lama.
2.4. Perlindungan Hukum bagi pemilik atas tanah
Perlindungan hukum bagi pemilik atas
tanah yaitu penghormatan atas hak-haknya, baik itu hak atas tanah, atau pun hak
ekonomi-sosial lainnya menjadi penting untuk mencegah kesewenang-wenangan
penguasa yang mengatasnamakan kepentingan umum. Menurut Philipus M. Hadjon13,
perlindungan hukum bagi rakyat dapat bersifat preventif yaitu dengan memberikan
kesempatan untuk mengajukan keberatan (inspraak) atau pendapatnya
sebelum suatu keputusan Pemerintah mendapat bentuk yang definitif. Dan
perlindungan hukum yang bersifat represif yaitu untuk menyelesaikan masalah
yang telah timbul sebagai akibat dilaksanakannya keputusan Pemerintah tersebut,
baik melalui Pengadilan Tata Usaha Negara atau Pengadilan Umum.
Perlindungan Hukum
Preventif 
Secara keseluruhan, peraturan
perundang-undangan tentang pengambilalihan hak atas tanah untuk kepentingan
umum di Indonesia tidak memberikan perlindungan hukum yang bersifat preventif
dimana pemilik hak atas tanah dan pihak yang berkepentingan dapat mengajukan
kesempatan menyatakan keberatan atas substansi pengambilalihan hak atas tanah
tersebut. 
Kemungkinan pengajuan keberatan
hanya diberikan atas besarnya ganti rugi, bukan pada substansi pengambilalihan
hak atas tanah itu sendiri yaitu “kepentingan umum”. Hal ini juga bisa dilihat
dari tidak disertakannya lembaga legislatif sebagai wakil rakyat dalam
perumusan kepentingan umum tersebut karena pengaturannya yang hanya dalam
bentuk regulasi yang dibuat oleh pemerintah. Sosialisasi dari kegiatan “untuk
kepentingan umum” yang dilakukan lebih menempatkan masyarakat sebagai pihak
yang pasif dalam proses perumusan kepentingan umum. Demikian juga adanya
lembaga musyawarah yang menyertakan masyarakat hanya dalam hal penentuan
besarnya ganti rugi.
Pencabutan hak atas tanah untuk
kepentingan umum menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 adalah perbuatan
hukum Pemerintah yang dilakukan secara sepihak. Hal ini berarti bahwa suatu
keberatan atas tindakan Pemerintah tersebut tidak dimungkinkan untuk diajukan
kepada Pengadilan. Perlindungan hukum bagi rakyat adalah dalam bentuk harus
dipenuhinya prosedur pencabutan hak atas tanah yang ditetapkan oleh
Undang-Undang ini, dan dimungkinkannya pengajuan keberatan atas besarnya ganti
rugi melalui acara Banding ke Pengadilan Tinggi. 
Sedangkan tindakan pembebasan tanah
menurut Permendagri Nomor 15 Tahun 1975, pada dasarnya merupakan tindakan yang
melibatkan kedua pihak dalam suatu forum musyawarah. Tetapi musyawarah ini
adalah untuk menetapkan jumlah ganti rugi, bukan perumusan substansi
pengambilalihan hak atas tanah yaitu kepentingan umum. Sehingga perlindungan
hukum bagi rakyat secara preventif juga tidak diberikan dalam pembebasan tanah.
Perkembangan selanjutnya adalah
acara pengadaan tanah untuk kepentingan umum yaitu melalui pelepasan atau
penyerahan hak atas tanah menurut Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993.
Musyawarah juga diberikan tetapi hanya dalam penetapan ganti rugi. Selanjutnya
pencabutan hak atas tanah dimungkinkan sebagai upaya terakhir.
Tetapi pencampuradukkan prosedur
pelepasan atau penyerahan hak atas tanah dengan pencabutan hak atas tanah
justru terjadi pada Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 dan meskipun
kemudian ditentukan secara terpisah tetapi pada dasarnya tidak banyak mengalami
perbaikan dalam Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006, yaitu dengan adanya
batas waktu 120 hari. Padahal kedua Peraturan Presiden tersebut lahir setelah
Amandemen II Undang-Undang Dasar 1945 yang telah mengakui secara jelas dan
eksplisit tentang Hak Asasi Manusia termasuk hak milik. 
Dari uraian di atas, dapat
disimpulkan bahwa perlindungan hukum bagi rakyat secara preventif tidak diberi
kemungkinannya dalam peraturan perundang-undangan tentang pengambilalihan hak
atas tanah untuk kepentingan umum di Indonesia. Hal ini dapat disimpulkan dari:
(1) musyawarah sebelum pelaksanaan pengambilalihan hak atas tanah tersebut
hanya untuk menetapkan besarnya ganti rugi, bukan substansi kepentingan umum
itu sendiri; (2) tidak dilibatkannya lembaga legislatif dalam perumusan
kepentingan umum. Padahal seharusnya untuk mencegah kesewenang-wenangan akibat
meluasnya penafsiran kepentingan umum sebagai alasan pengambilalihan hak atas
tanah, maka harus diimbangi dengan kuatnya perlindungan hukum bagi rakyat.
Perlindungan Hukum Represif
Dari segi perlindungan hukum
represifnya yaitu setelah atau ketika pelaksanaan pengambilalihan hak atas
tanah tersebut, maka parameter yang digunakan adalah diberikannya jaminan
mendapatkan ganti rugi yang layak, tersedianya lembaga musyawarah dan tersedianya
upaya hukum yang diberikan. Menurut Maria SW. Sumardjono14, dalam penentuan
ganti rugi seharusnya diperhitungkan pula faktor-faktor berikut: 
1)     
hilangnya hak atas tanah, bangunan, tanaman, dan lainnya; 
2)     
hilangnya sumber penghidupan dan pendapatan; 
3)     
bantuan untuk pindah ke lokasi lain dengan memberikan alternatif lokasi baru
yang dilengkapi dengan fasilitas pelayanan yang layak; 
4)     
bantuan pemulihan pendapatan agar tercapai keadaan yang setara dengan
sebelumnya.
Pemberian ganti rugi juga tidak
hanya diberikan kepada pemegang hak atas tanah (yang sah/besertifikat), tetapi
juga terhadap : 
1)  yang menguasai tanah tanpa
sertifikat dan bukti pemilikan lain; 
2)  penyewa bangunan; 
3)  penyewa/petani penggarap
yang akan kehilangan hak sewa atau tanaman hasil usaha di tanah tersebut; 
4)  buruh tani/tunawisma yang
akan kehilangan pekerjaan; 
5)  pemakai tanah tanpa hak
yang akan kehilangan lapangan kerja atau penghasilan; 
6)  masyarakat hukum adat yang
akan kehilangan tanah dan sumber penghidupan. 
Dari sejumlah peraturan tersebut,
ganti rugi yang diberikan lebih bersifat materiil yaitu atas kerugian yang
bersifat fisik. Baru kemudian pada Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 dan
Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006, diperkenalkan ganti rugi atas kerugian
immateriil. Tetapi kemudian ini tidak dijelaskan secara khusus, baik itu
mengenai ruang lingkup kerugian immateriil maupun jenis dan jumlah ganti
ruginya.
Lembaga musyawarah sebagaimana telah
disebut di atas, disediakan dalam acara pembebasan tanah dan pengadaan tanah.
Musyawarah secara langsung yang dilakukan secara independen menurut Keputusan
Presiden Nomor 55 Tahun 1993 kemudian dibatasi dengan waktu 90 hari dalam Peraturan
Presiden Nomor 36 Tahun 2005 dan menjadi 120 hari menurut Peraturan Presiden
Nomor 65 Tahun 2006. Meskipun tujuannya untuk kepastian bagi kedua belah pihak
tetapi batas waktu ini dapat mengurangi perlindungan hukum bagi rakyat yang
diambilalih hak atas tanahnya, terutama jika kemudian ganti rugi ditetapkan
secara sepihak dan dititipkan ke Pengadilan. 
Sedangkan dari segi upaya hukum yang
diberikan adalah sebagai berikut:
1.     
Penyelesaian secara internal, dalam arti dilakukan tanpa melibatkan lembaga
lain yaitu hanya di lingkungan eksekutif. Hal ini bisa dilihat dalam upaya
penyelesaian yaitu pengajuan keberatan kepada Gubernur (eksekutif).
Penyelesaian ini dimungkinkan dalam pembebasan tanah dan pengadaan tanah
berdasar pelepasan atau penyerahan hak atas tanah; 
2.     
Sedangkan penyelesaian sengketa yang melibatkan lembaga yudikatif (Pengadilan)
diberikan dengan pengajuan upaya hukum Banding ke Pengadilan Tinggi pada
tingkat pertama dan terakhir. Tetapi perlu diperhatikan bahwa keterlibatan Pengadilan
yang diatur di sini hanya mengenai jumlah ganti rugi, tidak diatur mengenai
kemungkinan dilakukannya penafsiran atau penemuan hukum oleh Pengadilan
terhadap substansi “untuk kepentingan umum”. Batas waktu pengajuan keberatan
ini hanya satu bulan setelah diperolehnya Keputusan Presiden tentang pencabutan
hak atas tanah tersebut oleh pemilik atau pemegang hak atas tanah. Ditentukan
pula bahwa proses ini tidak menghentikan pelaksanaan pencabutan hak atas tanah;
3.     
Pada dasarnya setelah dikenal adanya Pengadilan Tata Usaha Negara maka
dimungkinkan pula mengajukan keberatan atas suatu tindakan pemerintah atau
Keputusan Tata Usaha Negara ke Pengadilan tersebut. Hal ini dimungkinkan,
apabila suatu tindakan Pemerintah berupa pengambilalihan hak atas tanah itu
tidak sesuai dengan prosedur atau tidak sesuai dengan kewenangan yang
diberikan, atau tindakan yang onrechtmatige-overheidsdaad. Kemungkinan
terjadinya perbuatan melawan hukum oleh penguasa ini misalnya dalam bentuk
penetapan ganti rugi yang tidak mengindahkan dasar pertimbangan yang layak,
daerah penampungan yang tidak memenuhi standar persyaratan hidup dan terisolir
secara sosial16. Tetapi Keputusan Tata Usaha Negara yang dapat diajukan adalah
yang bersifat konkrit, individual, final dan berakibat hukum (penetapan).
Sehingga dalam hal pencabutan hak atas tanah berdasar Undang-Undang Nomor 20
Tahun 1961 yang mengharuskan suatu Keputusan Presiden yang bersifat penetapan,
maka pengajuan ke Pengadilan Tata Usaha Negara sebenarnya17 Sedangkan dalam acara
pembebasan tanah dan pengadaan tanah maka Keputusan Tata Usaha Negara tersebut
juga harus memenuhi kriteria konkrit, individual, final dan berakibat hukum
(penetapan), misalnya Surat Keputusan Gubernur atau Kepala Daerah yang telah
ditujukan kepada perseorangan;
4.     
Sebagai alternatif lainnya, pengajuan hak uji materiil (judicial review)
atas peraturan yang berlaku secara umum (regulingen) kepada Mahkamah
Agung dan Mahkamah Konstitusi juga bisa dilakukan atas suatu peraturan
perundang-undangan tentang pengambilalihan hak atas tanah untuk kepentingan
umum18. Hal ini karena menurut pasal 8 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, hak asasi manusia merupakan
materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang sebagai kelanjutan
ketentuan UUD 1945. Sedangkan pasal 11 ditentukan bahwa, materi muatan
Peraturan Presiden adalah materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang atau
untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Pada asasnya kebutuhan akan tanah
untuk keperluan pembangunan guna kepentingan umum haruslah terlebih dahulu
diusahakan agar tanah itu dapat diperoleh dengan persetujuan dari pemiliknya,
misalnya atas dasar jual beli, tukar menukar atau dengan cara lainnya. Tetapi
apabila cara demikian tidak berhasil karena ada kemungkinan pemilik tanah
meminta ganti rugi terlalu tinggi atau tidak bersedia sama sekali untuk
melepaskan tanah yang diperlukan itu, maka kepentingan umum harus lebih
diutamakan dari pada kepentingan perseorangan.
Pencabutan hak atas tanah menurut
UUPA adalah suatu tindakan pengambilan tanah kepunyaan orang lain atau tanah
suatu pihak tertntu oleh Negara secara paksa, yang mengakibatkan hak atas tanah
itu menjadi hapus, tanpa yang bersangkutan melakukan  suatu pelanggaran
atau lalai dalam memnuhi suatu kewajiban hukum.
Pada umumnya pencabutan hak ini
diadakan guna keperluan usaha-usaha Negara, untuk pemerintah pusat maupun
daerah, tetapi menurut penjelasan Undang-undang No. 20 Tahun 1961 tentang
Pencabutan Hak atas tanh dan benda-benda yang ada diatasnya sebagai
pengecualian dapat juga dilakukan guna pelaksanaan usaha swasta asalkan usaha
itu benar-benar untuk kepentingan umum.
3.2. Saran
Pencabutan hak atas tanah milik yang
tidak dilandasi amanat Pasal 18 UUPA seringkali terjadi. Masyarakat dituntut
untuk melepaskan haknya dengan alih-alih untuk kepentingan umum dengan
diperkuat oleh asas fungsi sosial hak atas tanah yang termuat dalam pasal 6
UUPA, tetapi ganti kerugian yang diberikan tidak seimbang dengan nilai hak yang
dilepaskan sehingga banyak masyarakat yang pada akhirnya tidak dapat bermukim
kembali secara layak karena ganti kerugian yang diterima tidak mampu untuk
menggantikan kedudukannya seperti sedia kala. Bagi penduduk yang masih memiliki
lahan luas, mungkin hal tersebut tidak terlalu dipermasalahkan, namun bagi
sebagian besar penduduk yang hanya memiliki sebidang lahan sempit, kenyataan
pahit ini harus diterimanya dengan terpaksa. Ironisnya, kenyataan ini malah
akan semakin menyeret pada proses pemiskinan penduduk yang entah disadari atau
tidak oleh para pembuat kebijakan bahwa proses pemiskinan tersebut ternyata
malah lahir dari para pelaksana kebijakan itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
. UU No. 20 tahun 1961, tentang pencabutan
hak-hak tanah dan benda yang ada di atas nya.
2Peraturan menteri dalam negeri No. 15 tahun 1975, tentang ketentuan
ketentuan tentang pembebasan tanah.
3 Undang-Undang Pokok Agraria No 5 tahun 1960
5Sf marbun dan Moh. Mahfud Md Pokok-pokok hukum administrasi negara, liberty
yogyakarta
6Supardi sh, Mhum hukum agraria, sinar grafika, 2006 palu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar